Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
KASUS kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi permasalahan yang masih terus terjadi, bahkan meningkat. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang mengatakan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia naik hingga 800%.
Data Sistem Informasi Online (Simfoni) Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut, terjadi 6.209 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan untuk tahun ini, per 16 Maret 2021 telah terjadi 426 kasus.
Adapun Catatan Tahunan Komnas Perempuan menyebut ada 5.280 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pada 2018 dan pada 2019 jumlahnya 4.898 kasus.
Diyakini, angka tersebut hanyalah ‘puncak dari gunung es’. Kasus di lapangan lebih banyak yang tidak terungkap karena korban memilih untuk diam. Mengapa?
Psikolog Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi, menjelaskan, dari pengalaman pendampingan terhadap korban, ada sejumlah faktor yang menyebabkan perempuan korban kekerasan seksual memilih untuk diam. Antara lain, mereka menganggap peristiwa yang dialami merupakan aib memalukan yang harus ditutupi, mereka takut tidak dipercaya dan disalahkan, khawatir akan konsekuensi negatif yang didapat jika melapor, dan meragukan proses hukum.
“Kesemuanya itu berkorelasi dengan akar permasalahan kekerasan berbasis gender yaitu budaya patriarki, ketidaksetaraan gender, penyalahgunaan relasi kuasa, serta minimnya perspektif HAM dan perspektif gender,” ujar Ika pada workshop “Semua Peduli, Semua terlindungi, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)” yang digelar secara virtual oleh The Body Shop Indonesia dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), beberapa waktu lalu.
Akar permasalahan tersebut masih kuat ada di masyarakat. Membuat penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan makin sulit terungkap, apalagi terselesaikan.
Bahkan, pihak media massa yang seharusnya mendukung korban untuk mendapat keadilan dan pemulihan kadang justru menyudutkan korban. Ia mencontohkan sebuah judul pemberitaan “Pulang dari Tempat Hiburan Malam, Mahasiswi Mengaku Diperkosa”.
Meski mengungkapkan fakta, kalimat ‘pulang dari tempat hiburan malam’ sangat merugikan korban. Karena kalimat itu menggiring pembaca untuk berpikiran bahwa si mahasiswi tersebut ‘wajar’ diperkosa karena dia ‘perempuan nakal’, terbukti dia baru nongkrong di tempat hiburan malam.
Demikian pula penyebutan-penyebutan seperti ‘korban memakai pakaian terbuka’ atau ‘korban diperkosa di kamar pelaku’ yang mengesankan ada andil korban sehingga peristiwa itu terjadi.
Di sisi penegakan hukum, hukuman pidana untuk pelaku dinilai masih sumir, ringan, lemah, dan dalam prosesnya bias memposisikan korban. Kasus Baiq Nuril contohnya, korban pelecehan seksual yang dilakukan atasannya ini justru dihukum pidana setelah dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Terkait hukuman sosial, pelaku tidak pernah mendapatkan hukuman sosial dari masyarakat. Berbeda dengan kasus narkoba, terorisme, korupsi, perampokan atau pembunuhan yang 3 generasi masih diingat,” kata Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Mutmainah, pada kesempatan sama.
Di tinjau dari perspektif Islam, lanjut Yulianti, ada beberapa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang patut menjadi acuan dalam proses penanganan. Antara lain seperti yang dikisahkan dalam hadis riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tentang seorang perempuan keluar rumah di malam hari hendak salat berjamaah.
Di tengah jalan ia diperkosa oleh laki-laki yang kemudian kabur. Ketika ada rombongan laki-laki lain lewat dan bertanya, ia menceritakan peristiwa nahas yang baru menimpanya. Maka para laki-laki itu pun berusaha mengejar si pelaku dan menangkap seseorang yang dicurigai. Si perempuan membenarkan bahwa laki-laki yang ditangkap itulah yang telah memperkosanya.
Laki-laki yang ditangkap itu kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah SAW dan dijatuhi hukuman rajam. Ketika hukuman hendak dilaksanakan, ada laki-laki lain yang mengakui bahwa dirinyalah yang memperkosa.
Rasulullah pun meminta si perempuan untuk memperhatikan kedua laki-laki itu untuk memastikan siapa yang pelaku sebenarnya. Namun si perempuan menjawab, dia tidak dapat mengenali karena kondisi saat itu gelap. Rasulullah lalu memutuskan untuk menjatuhkan hukuman pada laki-laki yang mengakui dirinya pemerkosa.
Yulianti menjelaskan, kisah itu menggambarkan betapa di zaman Rasulullah Nabi Muhammad SAW, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan serta mengutamakan perlindungan terhadap korban.
“Kesaksian pihak perempuan menjadi kesaksian utama. Korban juga benar-benar dilindungi. Meski sempat keliru menyatakan laki-laki lain sebagai pelaku, dia tidak dihukum. Adapun kepada pelaku, hukum ditegakkan, tidak ada impunitas baginya. Ini yang seharusnya diterapkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,” paparnya.
Sahkan RUU P-KS
Sejatinya, ada sebuah peluang untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap perempuan yang akar permasalahannya sedemikian kuat dan rumit. Harapan itu ada pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).
RUU ini sudah dirancang Komnas Perempuan sejak 2012, disusun drafnya pada 2014, masuk sebagai RUU Prolegnas sejak 2016 namun tak kunjung disahkan DPR menjadi UU karena minimnya pemahaman sejumlah pihak yang membuat RUU ini terkesan bertentangan dengan nilai-nilai di masyarakat, terutama nilai agama. Tahun ini RUU PK-S kembali masuk dalam Prolegnas.
Program Officer On Inequality International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Megawati, mengungkapkan, dorongan menjadikan RUU P-KS sebagai produk hukum sudah mulai dilakukan sejak 2014, ketika penyusunan naskah akademik dan draft RUU dilakukan.
“Akan tetapi, RUU P-KS hingga hari ini belum juga disahkan. Padahal, berdasarkan hasil studi kuantitatif yang dilakukan oleh INFID tahun 2020, memperlihatkan bahwa 70,5% masyarakat Indonesia setuju diberlakukannya RUU P-KS karena RUU P-KS disusun berdasarkan pengalaman korban dan pendampingan korban,” tutur Megawati.
Ia menegaskan, keberadaaan RUU P-KS merupakan langkah maju yang tidak hanya bicara tentang tindak pidana terhadap pelaku, tetapi juga rehabilitasi bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. “Hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah RUU ini memberikan perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban, yang selama ini tidak diatur dalam UU yang telah ada,” imbuhnya.
Perlu Dukungan Berbagai Pihak
Mengingat pentingnya pengesahan RUU PK-S dan beratnya tantangan yang dihadapi, dibutuhkan dukungan berbagai pihak, termasuk pihak swasta, agar RUU tersebut segera diundangkan. Dalam hal ini, The Body Shop Indonesia turut serta berperan aktif.
“Kami percaya bahwa sebuah bisnis bisa memiliki peran lebih dari sekedar transaksi jual beli, tetapi memiliki kapasitas untuk mengedukasi dan mendorong perubahan baik. Bagi kami, isu kekerasan seksual itu penting untuk didorong dan kami melakukan kampanye Stop Sexual Violence karena Indonesia sudah darurat kekerasan seksual,” ujar Aryo Widiwardhono, CEO The Body Shop Indonesia.
Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, Ratu Ommaya, menambahkan, pihaknya mengambil peran meneruskan perjuangan untuk mendorong pengesahan RUU PKS menjadi UU, lewat gerakan #TBSFightForSisterhood.
“Gerakan #TBSFightForSisterhood adalah gerakan solidaritas antar perempuan terbesar di Indonesia yang digalang untuk menghapus kekerasan seksual, terutama terhadap kaum perempuan sebagai mayoritas korbannya dengan tujuan utama mendorong pengesahan RUU P-KS menjadi undang-undang,” pungkasnya. (Nik/OL-09)
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronica Tan meyakini langkah Polri dalam menangani laporan kekerasan akan lebih cepat, tepat dan berpihak kepada korban.
Indonesia didorong untuk memanfaatkan kekayaan budaya dalam mendorong pengembangan industri ekonomi kreatif di tingkat global, termasuk melalui inovasi dan inklusi
SEGERA atasi tantangan struktural yang dihadapi perempuan agar mampu berperan aktif dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Melalui pemberian keterampilan praktis, wawasan bisnis tajam, dan akses tanpa batas ke pasar global, SheHacks menjadi tonggak penting dalam mempercepat inklusivitas gender.
Pesenggiri Festival 2025 menggabungkan pameran karya seni tapis kuno dengan berbagai aktivitas kreatif lainnya.
Kompetisi ini dirancang dengan tiga tahapan utama yaitu menyusun proposal ilmiah, menyampaikan ide melalui video singkat, dan mempresentasikan solusi
Dorong terciptanya lingkungan kerja yang aman dan bebas dari diskriminasi terhadap para pekerja, termasuk perempuan, sebagai bagian dari upaya peningkatan kinerja perekonomian nasional.
PERNYATAAN cawagub Jakarta nomor urut 1 Suswono, agar janda kaya menikahi pengangguran dianggap sebagai seksisme oleh Komnas Perempuan.
Memperkuat kesetaraan gender bukan berarti diskriminasi terhadap salah satunya.
Akses pelayanan kesehatan bagi perempuan juga masih menjadi pekerjaan rumah karena belum memenuhi perspektif gender sesuai konvensi CEDAW.
Untuk pemilihan umum, seleksi kandidat dilakukan oleh sekelompok kecil yang kebanyakan laki-laki.
Perempuan masih rentan dalam kasus-kasus kekerasan yang acap kali berujung pembunuhan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved