Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dewan Pers Bahas Hak Cipta Jurnalistik di Google dan Facebook

Faustinus Nua
08/2/2021 13:48
Dewan Pers Bahas Hak Cipta Jurnalistik di Google dan Facebook
Media massa(Ilustrasi)

DEWAN Pers bersama media massa nasional tengah membahas regulasi publisher act atau hak cipta jurnalistik pada platform-platform digital seperti google dan facebook. Hal itu penting untuk menjaga keberlangsungan media nasional dari ancaman monopoli platform digital besar tersebut.

Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan bahwa pihaknya mempelajari regulasi-regulasi yang ada di negara lain. Dewan Pers dengan media sustainabelity transform sudah sedang menerjemanhkan regulasi tentang publisher right yang ada di AS, Eropa dan Australia.

"Kita terjemahkan, nanti kita bahas bareng-bareng. Bagian mana dari regulasi yang bisa kita adopsi untuk konteks Indonesia dan bagian mana yang tidak," ungkapnya dalam Konvensi Nasional Media Massa HPN 2021, Senin (8/2).

Agus menjelaskan bahwa publisher right sangat penting bagi industri media. Regulasi tersebut untuk mengatur hak publisher terkait dengan konten jurnalistik yang diagregasi atau didisposisikan melalui platform digital baik mesin pencari maupun media sosial.

Latar belakang munculnya publisher right ini lantaran monopoli global hingga 56% dari belanja iklan yang hanya dikuasai 3 perusahaan saja, yakni Google, Facebook dan Amazon. Sisanya, 44% belanja iklan diperbutkan oleh puluhan ribu media massa cetak, radio, televisi dan e-commerce lokal di berbagai negara.

"Ini pemusatan surplus ekonomi yang belum pernah terjadi dalam sejarah dalam industri media maupun industri lain di mana triopoli Google, Facebook dan Amazon itu begitu luar biasa kekuatan ekonominya. Sehingga mereka itu dianggap sebagai perushaan tidak lazim lagi karena begitu besar kekuatannya, begitu besar potensi, skala dan begitu besar, pengaruhnya," paparnya.

Di AS sendiri, komite hukum senat menilai pengaruh perusahaan besar tersebut bisa berdampak pada arah politik suatu negara. Sehingga, AS memberlakukan regulasi yang bisa membatasi raksasa teknologi tersebut. Begitu pula dengan Eropa dan Australia.

Perusahaan media, lanjutnya, harus bersatu atau menghadapi raksasan global secara kolektif. Akan tetapi juga sangat di butuhkan peran negara seperti yang sudah dilakukan negara-negara maju di dunia.

"Ini bukan untuk melawan Google dan Facebook, tapi untuk membuat membuat mereka itu tidak melakukan monopoli pemusatan ekonomi yang berlebihan dan bisa berdampak pada arah politik," ucap Agus.

Menurutnya, regulasi tersebut akan mengatur, mereduksi monopoli yang berlebihan dari platform digital. Mengingat banyak juga media yang berguguran dari persaingan yang tidak sehat itu.

Bila media mati karena gagal bertranformasi hal itu merupakan kesalahan pengelolanya sendiri. Namun, bila media tutup karena persaingan yang tidak sehat atau terjebak dalam ekosistem yang tidak adil itu maka menjadi tugas negara untuk menyelamatkan media.

Baca juga : Anies Baswedan Sebut Peran Pers Sangat Penting di Tengah Pandemi

"Sekali lagi bukan untuk melawan platform, tapi untuk membuat platform itu membumi dalam arti menjadi kekuatan yang bisa, diatur yang bisa dikendalikan dan memungkinkan persaingan, karena tanpa persaingan yang terjadi ya monopoli dan dampaknya keman-mana terhadap demokrasi kita, kepada ruang publik kita," ujarnya.

Lebih lanjut, publisher right mengatur monetisasi dan agregarsi berita tanpa konpensasi yang memadai, pengabaian hak cipta atas karya jurnalistik, ketertutupan sistem algoritma platform digital, monopoli distribusi konten dan monopoli brand tawar. Pola ekosistem publisher right mencoba mengatasi persoalan itu dengan mengatur hak cipta karya jurnalisik, transparansi algoritma dan siatem data dan pengendalian monopoli konten dan iklan digital.

"Prinsipnya konten sharing yang terhadi antara platform dan publiaher harus menghasilkan revenue sharing, data sharing, lialibility sharing yang transparan dan adil. Sehingga eksistensi media lama dan media baru, antara publisher dan platform itu benar-benar diwujudkan," imbuhnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Agus meminta pemerintah, pengelolan media dan semua stakeholders untuk berkerja sama. Negara selaku pembuat regulasi harus serius terhadap dampak monopoli platform global.

Meski demikian, juga penting untuk membantu media-media kecil yang sudah sangat bergantung pada platform digital dari Google dan Facebook. Pasalnya, seperti yang terjadi di beberap negara, kelompok tersebut menolak adanya publisher right.

Selain itu, asosiasi pers dan pengelola media harus belajar dari negara lain terkait negosiasi kebijakan. Mengingat baik Google maupun Facebook tidak serta merta menerima regulasi tersebut.

Agus mengisahkan bahwa pemberlakuan publisher act di Australia berjalan alot. Google menolak regulasi tersebut dan kemudia memboikot layanannya. Namun Australia justru memanfaatkan pesaing Google, yakni Microsoft Bing sebagai partnernya. Begitu pula yang terjadi di Eropa, Google memboikot layanannya, tetapi Facebook justru memanfaatkan posisi tersebut.

Semua upaya tersebut perlu dipelajari Indonesia ke depannya. Sehingga, mempunyai kekuatan negosiasi dan harapan ekosistem media baru bisa terwujud.(OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya