Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
Asisten Deputi Bidang Partisipasi Lembaga Profesi dan Dunia Usaha Kementerian PPPA Sri Prihantini L Wijayanti mengatakan, perilaku kekerasan pada anak sebagian besar dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Tindak kekerasan ini biasanya dilakukan dengan alasan untuk mendidik dan mendisiplinkan anak.
Berdasarkan data prevalensi kekerasan terhadap anak pada 2018, sebanyak 61,7 persen anak laki-laki dan 62 persen anak perempuan mengalami kekerasan.
“Sekitar 70 persen pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang tua mereka sendiri dengan alasan memberi pendidikan dan disiplin, kondisi ini perlu diluruskan. Sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat, anak harusnya dipersiapkan seutuhnya untuk hidup di tengah masyarakat dengan semangat perdamaian, kehormatan, dan kebebasan,” kata Sri dalam diskusi Perlindungan Anak dari Kekerasan dalam Rumah Tangga, Selasa (29/9).
Baca juga: Cegah Kegagalan Terapi ARV pada ODHA dengan Pemeriksaan Viral Load
Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Meita Dhamayanti mengatakan, corporal punishment atau hukuman fisik yang terjadi pada anak bisa bermacam-macam mulai dari yang ringan seperti menarik telinga/menjewer dan mencubit, hukuman sedang seperti menampar, memukul pantat, dan menendang, hingga hukuman berat seperti membakar dengan puntung rokok dan dipukul dengan rotan. Berdasarkan survei yang dilakukan di Jawa Barat selama periode Oktober-Desember 2016 terhadap 4 ribu siswa sekolah, sebanyak 70,2 persen anak mengaku pernah dicubit dan 57,6 persen persen anak pernah dijewer.
“Mungkin karena budaya mencubit menjewer dianggap hal yang tidak terlalu menyakitkan, padahal tidak demikian. Hukuman fisik walaupun tujuannya meningkatkan perilaku disiplin, tapi bisa masuk dalam kekerasan terhadap anak atau child abuse,” tuturnya.
Lebih lanjut Meita mengungkapkan, berdasarkan survei YouGov Omnibus pada 2019 terhadap 1.231 orang tua, 32 persen responden beranggapan bahwa hukuman fisik harus ditetapkan sebagai akibat dari pelanggaran hukum, 32 persen beranggapan sebaliknya, dan sisanya ragu-ragu.
Beberapa faktor yang menyebabkan orang tua melakukan hukuman fisik/kekerasan pada anak antara lain karena kurang pengetahuan tentang parenting, memiliki riwayat hukuman fisik, dan memiliki riwayat paparan terhadap kekerasan rumah tangga (KDRT).
“Orang tua yang pernah menerima hukuman fisik cenderung melakukan hukuman fisik pada anaknya,”
Melita menjelaskan, perilaku kekerasan/hukuman fisik pada anak dapat menimbulkan dampak fisik berupa cedera hingga kematian serta dampak psikologis berupa gangguan mental, gangguan kognitif yang meliputi penurunan performa akademis, penurunan nilai, kosakata yang lebih sedikit, hingga motivasi belajar rendah, serta meningkatnya agresi dan perilaku anti sosial, termasuk rusaknya hubungan dalam keluarga.
“Bagaimana mengubah perilaku anak supaya disiplin, yaitu tanpa kekerasan fisik, penuh kasih sayang, membangun kepercayaan, peraturan yang konsisten, dan bukan untuk menghukum anak,” tandasnya. (H-3)
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong dilakukan pencegahan terhadap terjadinya tindak kekerasan kepada anak secara berulang atau reviktimasi.
Hampir setengah anak di Indonesia mengalami kekerasan. Temukan fakta penting tentang perlindungan anak dan langkah untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka.
POLISI masih menelusuri keberadaan orangtua anak berusia 7 tahun berinisial MK, yang ditemukan dalam kondisi memprihatinkan di Pasar Kebayoran Lama beberapa waktu lalu.
Berikut fakta-fakta kondisi terkini MK, anak perempuan 7 Tahun yang diduga dianiaya dan dibuang ayahnya di Pasar Kebayoran Lama, Jaksel
KPAIÂ berkoordinasi dengan Tim Subdit Anak Direktorat PPA dan PPO Bareskrim Polri terkait anak yang ditelantarkan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dari gerak-geriknya, sang satpam melihat pria itu menaruh anaknya di lantai beralaskan kardus.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved