Kebijakan Iuran Sebabkan Defisit Struktural BPJS Kesehatan

Atikah Ishmah Winahyu
09/9/2020 18:15
Kebijakan Iuran Sebabkan Defisit Struktural BPJS Kesehatan
Sejumlah peserta BPJS Kesehatan antre di Kantor BPJS Kesehatan, Proklamasi, Jakarta, Selasa (8/9).(ANTARA/Rivan Awal Lingga)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diperkirakan masih akan mengalami defisit sebesar Rp185 miliar hingga akhir tahun. Sementara pada 2019, BPJS Kesehatan telah mencatatkan defisit sebesar Rp13 triliun.

Menanggapi jumlah defisit BPJS Kesehatan yang terbilang cukup besar, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan, kekurangan yang terjadi termasuk dalam kategori defisit struktural yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kebijakan dan pertumbuhan iuran yang lebih kecil dibandingkan jumlah belanja.

“Kebijakan iuran itu lambat sekali untuk disesuaikan karena banyak sekali tantangannya, mulai dari publik, dari parlemen, padahal yang mau kita naikkan sedikit sekali,” ujar Asih dalam webinar, Rabu (9/9).

Baca juga: Kota Tua Jadi Ruang Publik Pengutamaan Bahasa Negara

Kemudian dia menilai, kebijakan manfaat JKN sejak awal terlalu terbuka dengan batasan yang terlalu luas.

“Misalnya, hemodialisis kok bisa 56 kali (cuci darah) dalam satu tahun? Apa dasarnya? Sepanjang kebutuhan medis itu batas-batasnya yang kita belum ketat, jadi terjadi defisit stuktural. Makanya dari Perpres 64 tahun 2020 kita tata ulang mulai dari iuran, manfaat, dan kelas rawat inap,” terangnya.

Di samping itu, laju pertumbuhan iuran berbanding terbalik dengan pendapatan. Asih mengungkapkan, selama ini jumlah anggaran yang dibelanjakan lebih banyak dibandingkan pendapatan, serta tren utilisasi mengalami kenaikan.

Dia mencontohkan, jumlah kunjungan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) pada 2014 hanya mencapai 61,7 juta orang, sedangkan pada 2019 mengalami kenaikan hingga lima kali lipat mencapai 337,7 juta orang. Kemudian pelayanan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) pada 2014 hanya mencapai 4,2 juta orang, sedangkan pada 2019 naik hingga 11 juta.

Peningkatan juga terjadi pada rawat inap tingkat lanjut (RITL) yang pelayanannya memang tergolong berat dan menghabiskan biaya tertinggi. Pada 2014, pelayanan RITL menghabiskan dana sebesar Rp 25,2 triliun, sedangkan pada 2019 mencapai tiga kali lipat yakni sebesar Rp60,2 triliun. Pada tahun ini, meski terjadi tren penurunan akibat covid-19, namun hingga Juni 2020 pelayanan RITL menghabiskan dana sebesar Rp29,3 triliun atau lebih banyak dibandingkan pada 2014 lalu.

“Di publik itu yang muncul (berita) iuran naik, pelayanan kurang, dan sebagainya. Tapi apa yang sudah dinikmati, ke mana uangnya, pertumbuhan seperti itu hampir tidak ada yang diangkat,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Pakar Biostatistik dan Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono berpendapat, BPJS Kesehatan perlu lebih aktif mengingatkan para peserta yang terlambat membayar iuran. Di sisi lain, masyarakat juga harus patuh dalam membayar iuran karena BPJS Kesehatan merupakan asuransi sosial yang memegang prinsip saling membantu.

“Kalau ada peserta yang 1-2 bulan terlambat membayar, seharusnya diberi tahu, bapak belum bayar iuran. Atau diberi tahu kalau bapak mau bayar iuran selama setahun, akan diberikan bonus tidak usah bayar dua bulan, itu belum pernah dicoba supaya meningkatkan kepatuhan,” kata Pandu.

Selain itu, BPJS Kesehatan juga bisa membuka sarana bagi pihak-pihak yang ingin berdonasi membantu pasien yang tidak mampu membayar biaya perawatan.

“Misal saya mau menyumbang untuk mengurangi defisit tadi supaya tidak ada masyarakat miskin yang tidak mendapatkan pelayanan, jadi saya nyumbang ke BPJS, tolong ini diberikan hanya untuk mendanai masyarakat miskin yang kurang untuk pembayarannya, mungkin BPJS perlu membuka sarana itu,” terangnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya