ENAM bulan sudah pandemi covid-19 mencengkram Indonesia. Selain hilangnya banyak nyawa, pandemi juga menghantam sendi-sendi kehidupan yang sangat menguji kesehatan mental, tak terkecuali para tenaga kesehatan.
Dalam riset yang dilakukan terhadap 1.461 tenaga kesehatan, ditemukan fakta bahwa 82% responden yang mengalami burnout syndrome tingkat sedang dan 1% tingkat berat. Riset tersebut dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan mengambil responden dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spsialis , perawat, bidan, apoteker dan analisis laboratorium di seluruh Indonesia.
Apakah burnout syndrome itu dan bagaimana gejalanya? Kepala Departemen Riset Rumah Sakit Kanker Dharmais, Mururul Aisyi SpA(K) menjelaskan, kata burnout pertama kali digunakan oleh Herbert Freudenberger pada 1974 dan digunakan sebagai model teori hingga saat ini.
Sindrom burnout didefiniskan sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi stress pada saat kerja secara efektif, dan lebih diasosiasikan dengan stress kronik akibat kejadian sehari-hari dibandingkan dengan pada saat tertentu.
Faktor stres kronis yang berhubungan dengan pekerjaan dan berlangsung selama beberapa bulan ataupun tahun dapat menyebabkan gangguan yang lebih berat. "Sindrom burnout dapat berperan sebagai prekursor atau berkolerasi dengan depresi kronis," kata dokter Mururul seperti dikutip dari laman resmi RS Kanker Dharmais, Jumat (4/9)
Faktor penyebab burnout antara lain disebabkan beban pekerjaan yang melebihi batas, beban kerja teralu banyak, kebosanan, sumber daya yang kurang, tingkat keamanan kerja yang kurang, serta ketidakseimbangan antara usaha dan balas jasa.
Dari sekian banyak profesi, Mururul mengatakan, burnout biasa dialami oleh guru dan petugas medis. Pada petugas medis, pekerjaan yang merupakan faktor resiko terjadinya sindrom burnout antara lain, dokter, onkologi, bedah, anaestesi, dokter pada unit kerja AIDS, dokter pada perawatan intensif, unit perawatan intensif neonates, staf pengajar pendidikan kedokteran, praktisi rehabilitasi, petugas emergensi, dokter gigi, perawat, petugas sosial medis, petugas kesehatan jiwa, psikolog, petugas okupasi, terapi, petugas terapi wicara, residen dan mahasiswa kedokteran.
Mururul pun merinci sejumlah sinyal yang menandai munculnya sindrom burnout ini. "Burnout diindikasikan melalui nilai yang tinggi pada kelelahan emosional dan depersonalisasi, serta nilai yang rendah pada skala capaian individu," ujarnya.
Ia menjelaskan, munculnya kelelahan emosional ditandai dengan berkurangnya energi dan rasa antusias pada pekerjaan, emosional dan kognitif menjauh dari pekerjaan
Sinyal kedua yang perlu diwaspadai ialah terjadinya depersonalisasi yang menyebabkan orang tersebut menjadi sinis, cenderung mengurangi keterlibatan dan menjauhi pasien, dan menangani pasien tidak sebagai objek hidup. Waspadai juga jika terjadi penurunan capaian pada skala individu seperti rendahnya keterlibatan, komitmen dan janji.
Dalam pernyataannya, Satgas Covid-19 menilai perlunya pembatasan jam kerja dokter serta tenaga kesehatan Covid-19 untuk menghindari kelelahan luar biasa selama menangani pasien. Pasalnya, stres bisa menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mereka menjadi rentan tertular virus tersebut. (H-2)