Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Cegah Busuk Bulir Padi, Kementan Dorong Petani Lakukan Perlakuan

Mediaindonesia.com
27/1/2020 16:11
Cegah Busuk Bulir Padi, Kementan Dorong Petani Lakukan Perlakuan
Penyakit busuk bulir pada padi disebabkan bakteri Burkholderia glumae.(Istimewa)

PENYAKIT busuk bulir (bacterial grain rot (BGR))  pernah dilaporkan pertama kali di Indonesia di Kecamatan Indihiang Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1987 dan belum dilaporkan kembali adanya kerusakan yang parah akibat serangannya.

“Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, dilaporkan terjadi peningkatan insidensi dan keparahan penyakit di Sulawesi Selatan, Pulau Jawa, dan Pulau Sumatra,“ tutur Ani dari Prakiraan Organisme Penggagu Tumbuhan (POPT) Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) saat ditemui Karawang, Jawa Barat (27/01).

Ani menuturkan penyakit ini disebabkan bakteri Burkholderia glumae. Ciri-ciri tanaman padi yang terserang bakteri ini tampak  rantingnya malai tegak berwarna hijau, tulang cabang malai berwarna hijau, malai membentang ke atas karena biji tidak terisi penuh.

Bagian bulir yang berwarna cokelat membusuk dan lunak bila ditekan sehingga gejala ini disebut rice grain rot disease.

“Untuk memastikan, dapat dengan membuka kulit biji padinya (kulit gabah) kemudian dipencet atau ditekan, kalau lunak, kemungkinan terkena penyakit ini” tambah Ani.

Selain itu, Ani memaparkan bakteri ini juga diketahui dapat terbawa benih sehingga berpotensi dapat menyebar dengan cepat. 

“Faktor-faktor seperti importasi benih, perubahan iklim global dan cara budidaya diduga berhubungan dengan terjadinya ledakan penyakit ini,“ pungkas Ani.

Hal ini dibenarkan Wayan Murdita, SP, Koordinator Fungsional BBPOPT. Ia menambahkan penyakit busuk bulir dikategorikan sebagai emerging infectious disease (EID) yang memiliki karakteristik meningkatnya insidensi, sebaran geografis, dan berubahnya patogenisitas dalam waktu singkat.

“EID dapat disebabkan oleh perubahan iklim, teknik budidaya, perubahan habitat, perubahan genetik, dan introduksi pathogen," jelas Wayan.

Wayan menambahkan pada tahun 2017 sampai 2019 sebenarnya gejala penyakit ini sudah ditemukan kembali.

"Waktu teman-– teman dari BBPOPT melakukan survei pengamatan keadaan lapang, teman teman masih menemukan gejala penyakit ini namun tidak terjadi outbreak,“ tutur Wayan.

Menurut Wayan, penyakit tersebut unik, jadi tidak tentu kemunculannya. Oleh karena itu, kemunculan penyakit itu kurang dikenal para petani dan petugas penyuluh pertanian di lapangan.

Ditempat yang sama Nur Ikhsan dari POPT BBPOPT mengungkapkan bakteri penyebab penyakit ini adalah bakteri yang terbawa benih.

"Perlu diketahui bahwa bakteri ini agak susah terbawa angin sehingga penularan oleh angin memiliki peluang yang kecil.” ujar Ikhsan

Ikhsan menambahkan perlakuan benih sangat diperlukan karena penularan melalui benih sangat kuat., penggunaan benih yang sehat merupakan langkah yang tepat dalam mencegah penyakit ini.

Benih yang digunakan harus bersih dari benih lain (benih gulma dan benih varietas lain), kemudian benih diseleksi dengan air garam 3% untuk pemilihan benih yang sehat dan bernas setelah itu benih direndam dengan agens hayati, atau perlakuan benih lainnya sebelum disebar.

“Untuk jenis agens hayati, belum ada yang benar benar efektif ya, tetapi untuk pencegahan dapat menggunakan perlakuan fisik,” sambung Ikshan.

"Teman- teman dari karantina melakukan kajian perlakuan air panas. Hasilnya, perlakuan perendaman air panas suhu 56ºC selama 30 menit mampu untuk mengeliminasi B. glumae tanpa menurunkan viabilitas benih," tutup Ikshan. (OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya