Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
RADIKALISME menjadi salah satu isu yang cukup meresahkan masyarakat saat ini. Mufakat Budaya Indonesia menilai, pemerintah turut andil dalam mendorong semakin berkembangnya radikalisme di dalam negeri.
Sebab, pola hubungan antara elite dan grassroot yang terlalu dominatif dan represif menciptakan atau menumbuhkan peluang radikalisme di kalangan masyarakat luas.
Selain itu, ketidakpercayaan masyarakat yang semakin dalam dan meluas terhadap pemerintah menimbulkan praktik-praktik radikal akibat sikap pemerintah yang dalam bekerja memanipulasi rakyat sipil sebagai alat atau senjata untuk melakukan represi.
"Radikalisme sudah ada dalam diri kita masing-masing, terbangun dalam diri masyarakat secara keseluruhan. Itu bukan akibat dari paparan ideologi asing saja, tapi juga akibat dari realita atau kondisi objektif di negeri ini sendiri yang diakibatkan oleh praktek-praktek kenegaraan, pemerintahan, kepolisian yang menciptakan tekanan dan pada akhirnya muncul radikalisme publik yang itu menjadi potensi bagi semua orang untuk melakukan tindak kekerasan," jelas budayawan sekaligus seniman Radhar Panca Dahana dalam acara Temu Mufakat Budaya Indonesia (MBI) di Hotel Century Park, Jakarta, Kamis (31/10).
Baca juga: Radikalisme Bersumber dari Ketidakadilan Sosial
Kondisi ini pun diperparah dengan pemahaman yang rancu dan meyesatkan di kalangan elit (pengambil kebijakan elit) tentang makna radikalisme.
"Radikal ini kita harus posisikan dulu bagaimana istilah radikal? Contoh, radikalisme tapi harus ada buntutnya, radikal terorisme, radikal separatisme, macam-macam. Antara separatisme dan terorisme juga beda sekali," imbuh Ketua Harian Kerukunan Masyarakat Hukum Adat Nusantara Jurnias L. Tobing.
Kebijakan dan tindakan pemerintah pun dipandang telah menggenalisir segala bentuk radikalisme, termasuk di antaranya radikalisme mental sebagai kejahatan. Program pemerintah dalam mencegah radikalisme fisik maupun mental dalam bentuk kebijakan deradikalisasi justru menciptakan represi yang mematikan daya kritis maupun praktik-praktik ekspresional serta aktualisasi publik.
Oleh sebab itu, MBI memberikan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah untuk menangkal aksi radikal di masyarakat, antara lain, menghentikan kebijakan administratif yang menempatkan desa adat sebagai unit pemerintahan pusat ketik kebijakan itu mengganggu atau mendestruksi tata pemerintahan atau hubungan sosial di tingkat lokal.
Kemudian MBI meminta pemerintah untuk mengajarkan kembali praktik-praktik cara hidup atau tradisi yang berbasis pada kebudayaan atau peradaban air (bahari) yang dibuktikan oleh sejarah lokal menciptakan kerukunan di antara warga atau rakyat ketimbang menerapkan tiruan cara hidup di daratan yang ada pada masyarakat kontinental di Eropa, Asia maupun Amerika.
Selain itu, Radhar menyarankan pemerintah agar menghapus atau menghentikan program deradikaisasi yang secara keliru justru membunuh daya nalar atau pikiran kritis publik dan menggantinya dengan pembukaan ruang-ruang ekspresional dalam mengutarakan gagasan, baik secara intelektual maupun mental.
"Kita meminta pada pemerintah untuk tidak lagi menggunakan kata deradikalisasi atau radikal itu jika pengertiannya menghakimi, membatasi atau memangkas kebebasan berpikir kita. Karena radikalisasi kita secara mental dan intelektual itu sudah kelumrahan yang terjadi di berbagai peradaban. Pemikiran yang jernih, inovatif, dan menerobos itu pasti radikal, negara ini juga dibangun oleh pikiran-pikiran radikal dan itu nggak bisa dihakimi, nggak bisa dijudge, apalagi diberi tindakan yang represif. Kalau itu radikalnya dalam bentuk fisik nusuk orang, bikin bom itu kan sudah ada KUHP, biar KUHP yang mengurusnya," tegasnya.
Selain itu, pemerintah juga diminta untuk mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi dan empatik terhadap praktik-praktik yang terkategorisir radikal ketimbang satu penindakan yang bersifat represif.(OL-4)
Program pelatihan dari International Center for Land Policy Studies and Training (ICLPST) bukan sekadar pendidikan kebijakan pertanahan dan pajak, melainkan perjalanan lintas budaya.
Era Soekamto mengatakan akan terus melestarikan dan mempromosikan batik melalui karya-karya rancangannya sebagai seorang desainer serta menghadirkan platform Nusantara Wisdom.
DESAINER dan pelestari warisan budaya Indonesia, Era Soekamto telah menerima penghargaan dari UNESCO atas komitmennya yang berkelanjutan dalam melestarikan budaya
Penguatan identitas sebagai sebuah bangsa juga mampu menumbuhkan kohesi sosial yang bisa menjadi pendorong untuk mengakselerasi proses pembangunan.
ADA hal yang menarik dalam penyelenggaraan Indonesia Fashion Week 2025. Desainer fesyen, Eni Joe, menjadikan ajang tersebut sebagai ruang edukasi budaya.
Lebih dari sekadar pertunjukan mode, TGC dikenal sebagai acara hiburan terbesar yang memadukan fesyen, musik, budaya pop, dan selebritis dari berbagai bidang dalam satu panggung yang sama.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved