Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Dari Bank Sampah hingga Larva Serangga

Dero Iqbal Mahendra
16/9/2019 10:45
Dari Bank Sampah hingga Larva Serangga
Serangga Black Soldier Fly yang kemudian akan berubah menjadi larva digunakan sebagai pengurai sampah.(MI/Susanto)

 

BANYAK metode yang dapat digunakan untuk mengelola sampah, baik yang tergolong kering maupun basah. Akan tetapi, itu semua memerlukan dukungan seluruh masyarakat, khususnya penanganan sampah di hulu.

Pengelolaan sampah di sumbernya dapat mengurangi beban pengelolaan di hilir.

"Untuk itu perlu ada euforia revolusi mental pengelolaan sampah dengan mengubah perilaku. Kita tidak boleh terus menggantungkan kepada petugas kebersihan dan pemulung. Kita juga harus mengambil tanggung jawab untuk menjaga kebersihan, mulai diri sendiri, rumah sendiri dengan menerapkan prinsip mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah (reduce, reuse, dan recycle) di tempat masing-masing," tegas Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, Jakarta, kemarin.

Dalam menjalankan upaya itu, ia menilai komitmen yang kuat dari pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan komunitas sangat dibutuhkan.

"Peran pemerintah daerah dan dunia usaha untuk mendukung gerakan ini menjadi sangat penting. Pemerintah daerah diimbau dapat menyediakan pengangkutan terpilah atau terjadwal untuk sampah yang dapat dikompos, didaur ulang, maupun residu. Dunia usaha sudah mulai mendesain kemasan yang dapat didaur ulang dan tidak terbuang ke TPA maupun lingkungan," tukas Vivien.

Bukan cuma itu, ia melihat komunitas masyarakat pun melahirkan sejumlah inovasi pengelolaan sampah seperti bank sampah. Sejumlah komunitas menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang baik bukan hanya menciptakan lingkungan yang jauh lebih bersih, melainkan juga memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi masyarakat.

Misalnya, Bank Sampah Cendana yang beroperasi di wilayah Bogor, Jawa Barat. Bank ini terbukti mampu menggerakkan masyarakatnya untuk memilah sampah dan memberikan manfaat finansial kepada para nasabahnya.

Pembina Bank Sampah Cendana, Neli, menjelaskan pihaknya merupakan binaan dari Badan Litbang KLHK yang menjalankan pengelolaan bank sampah di wilayah Bogor.

"Jadi masyarakat seperti nasabah bank, semua punya data dengan buku tabungannya. Masyarakat akan menyetor sampah mereka dengan sudah dipilah terlebih dahulu. Kami menerima sampah kering dan sampah kertas saja. Yang organik, kami arahkan untuk dibuat kompos di rumah," tutur Neli saat ditemui di booth bank sampah dalam peluncuran Gerakan Memilah Sampah KLHK di Parkir Senayan GBK, Jakarta, kemarin. 

Neli menjelaskan, sampah yang disetorkan akan dihitung dalam satuan kilogram kemudian dikonversi menjadi rupiah. Nominal harga sampah yang disetorkan tersebut berbeda berdasarkan jenis dan kualitasnya. Sampah yang bersih akan dihargai lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak dipilah.

Bersih, maksud Neli, lebih pada pemrosesan sampah, misalnya, sampah botol plastik. Harga botol yang label dan tutupnya telah dipisah akan lebih mahal jika dibandingkan dengan yang masih ada label serta tutupnya.

"Harga sampah layaknya kurs dalam mata uang. Contohnya, harga dupleks, kardus, dan kertas berbeda tergantung dengan harga pasar. Harga untuk pet A (botol plastik tanpa tutup dan label) di kisaran Rp5.000 per kilogram," tukas Neli.

Untuk off taker sampah, Neli menjelaskan pihaknya bekerja sama dengan bank sampah induk di Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor. Mereka membeli sampah dari beberapa bank sampah lain lalu menjualnya kembali kepada perusahaan daur ulang.

Neli mengungkapkan masyarakat yang menabung setidaknya dalam 6 bulan dapat menghasilkan minimal Rp500 ribu dari sampah yang mereka setorkan. Umumnya, masyarakat akan menyimpan uang tersebut tanpa diambil dan sering kali baru diambil saat Hari Raya Idul Fitri atau ada kebutuhan.

Pendekatan pengolahan sampah yang berbeda dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Depok yang menggunakan maggot atau larva black soldier fly (BSF atau lalat hitam). Koordinator Unit Pengelolaan Sampah Merdeka Dua Depok, Heriyanto, menerangkan pihaknya menggunakan larva tersebut untuk mengolah sampah organik berupa sampah dapur dan sampah pasar, seperti sayuran, buah, atau daging yang membusuk. 

 

"BSF punya tiga keuntungan. Dia dapat mengurai sampah organik, dapat dijual untuk pengganti pakan ternak, dan menghasilkan pupuk kompos," tutur Heriyanto.

Satu gram telur BSF dapat mengolah satu kilogram sampah organik. Satu unit pengelolaan sampah (UPS) yang mengolah maggot dalam satu hari dapat menghabiskan hingga 500 kilogram sampah organik.

Larva maggot sebagai pakan ikan mampu meningkatkan produktivitas dengan harga lebih rendah. Dari keterangan pembudi daya larva BSF untuk pakan lele, ternyata ikan tumbuh lebih cepat dan menekan feed convertion ratio (FCR) atau banyak pakan yang diberikan untuk menghasilkan sekilogram daging ikan.

Heriyanto menjelaskan penggunaan metode itu dilakukan sejak tiga hingga empat tahun lalu. Penggunaan larva maggot pun cukup efekif dalam mengelola sampah organik.

Ditambah lagi, larva itu diburu para peternak. Sejauh ini cukup banyak pihak yang belajar menggunakan metode itu dari dalam dan luar negeri, seperti Sumatra, Kalimantan, Papua, Malaysia, Australia, dan Singapura. (Dro/S-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya