Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
IN a follow up to The Third Meeting of the Partners of Global Peatland Initiative (GPI-3) in Brazzavile, Republic of Congo, last March, delegations from the Republic of Congo and Democratic Republic of Congo were invited to visit Pontianak of West Kalimantan, Indonesia, for two days.
Organized by United Nations Environment Program (UNEP), Indonesia's Minister of Environment and Forestry, Siti Nurbaya, received positive responses from 50 countries during her presentation about the country's peatland management at the GPI-3 Meeting, resulting in the Brazzavile Declaration.
Both nations, Congo and Indonesia, agreed to collaborate and cooperate in sustainable peat management.
Congo Basin is the second largest peat ecosystem in the world and potentially absorbs up to three years of global greenhouse gas emission.
Both countries' representatives came to Indonesia to learn about peatland management.
Minister of Environment and Tourism of the Republic of Congo Arlette Soudan-Nonaults as the delegation chief was accompanied by Director General of Ministry of Environment and Sustainable Development of the Democratic Republic of Congo Jose Ilanga Lofonga.
Raffles B Panjaitan, Director of Forest and Land Fires Control of Indonesia's Ministry of Environment and Forestry, had shared the country's experience in controlling forest and land fires during their visit to Manggala Agni Daops Pontianak Headquarter, on Saturday (27/10).
Minister Arlette praised Indonesia's success in controlling forest and land fires using innovation and technology, in addition to the Fire Care Community that involves the general public.
"They [Fire Care Community] are the real heroes in preventing forest and land fires, [they] also ensure sustainable environment," said Minister Arlette to representatives of Fire Care Community at Manggala Agni Headquarter.
Minister Arlette even invited one of Congo's indigenous groups to be part of the delegation to Indonesia as the country's commitment on the importance of local communities in peatland management.
The delegates also learned and visited wood acid workshop as alternative solution to no-burning land clearing at the headquarter.
In addition, they also saw simulation of forest and land fire fighting by Manggala Agni.
On Sunday (28/10), they continued the journey by visiting PT Mayangkara Tanaman Industri, which obtained the industrial forest plantation permit, or IUPHHK-HTI, in Sanggau of Kubu Raya district.
They observed the hydrologic management system in the industrial forest areas, such as infrastructure, fire fighting facilities, and the SESAME device (Sensory Data Transmission Service Assisted by Midori Engineering), a fire early warning system.
At the end of the visit, the delegates had the chance to go to Aloe Vera Center, one of the technical units of West Kalimantan administration, which cultivate and market Aloe vera.
Stakeholders engagement
Indonesia's Ministry of Environment and Forestry has been implementing efforts to deal with peatland, which constantly set forest fires. For example, better peat management involving communities and private sectors, especially those with peatland concession.
Siti Nurbaya Bakar, the Minister of Environment and Forestry, said the involvement of communities and private sectors is the key to Indonesia's successful efforts in peatland management which has already earned praises from the UN.
"This succes can be achieved through all stakeholders engagement in effective ways, starting from civil societies to encourage private responsibility in managing peats in their concessions," said Ms Bakari, while speaking at the stakeholder meeting of GPI-3.
Indonesia's commitment in peat ecosystem restoration includes developing the monitoring system of ground water level and vegetations in peatland. As well as website and online portal of maps and peatlands management in pilot districts.
"We also established Peat Care Village as the model of integrated peatland management, which involves local communities in peatland conservation," she said.
For the past four years, the ministry has been encouraging the private sector, especially the 39 companies that were granted with industrial forest plantation permit, to build 6,482 canal blocks and 287 water gates.
The efforts are equal to re-hydrating 1,675 hectares of peats.
At least 109 plantation companies have built 9,054 canal blocks, 778 water gates, and 229 retention basins to improve water management equal to 0,822 hectares of peats.
The ministry also worked on 6,266 hectares of people's lands. (Mut/S4-25)
Kongo Pelajari Pengelolaan Gambut ala Indonesia
DELEGASI Pemerintah Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo melaksanakan kunjungan kerja di sejumlah tempat di Pontianak, Kalimantan Barat, selama dua hari. Kunjungan tersebut merupakan tindak lanjut hasil pertemuan The 3rd Meeting of the Partners of Global Peatlands Initiative (GPI-3) yang diselenggarakan United Nations on Environment Programme (UNEP) di Brazzaville pada akhir Maret lalu.
Pada pertemuan itu, paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar tentang pengelolaan ekosistem gambut Indonesia mendapat apresiasi tinggi dari 50 negara. Pertemuan itu menghasilkan Deklarasi Brazzaville.
Pemerintah Kongo dan Indonesia menyepakati kolaborasi dan kerja sama mendalam terkait dengan pengelolaan gambut berkelanjutan. Lembah Gambut Kongo (Congo Basin) merupakan ekosistem gambut dengan luasan terbesar kedua di dunia dan memiliki potensi menyerap karbon setara dengan tiga tahun emisi gas rumah kaca global.
Kehadiran perwakilan dua negara itu di Indonesia bertujuan mempelajari pengelolaan gambut. Menteri Lingkungan Hidup dan Pariwisata Republik Kongo Arlette Soudan-Nonaults memimpin delegasi dengan didampingi Direktur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Republik Demokratik Kongo Jose Ilanga Lofonga.
Pada kunjungan kerja ke Markas Manggala Agni Daops Pontianak, Sabtu (27/10), Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles B Panjaitan berbagi pengalaman terkait dengan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menteri Soudan-Nonaults terkesan dengan keberhasilan Indonesia dalam pengendalian karhutla melalui pemanfaatan inovasi dan teknologi, hingga keterlibatan Masyarakat Peduli Api.
“Merekalah pahlawan yang sebenarnya dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan serta memastikan lingkungan hidup yang lestari,” ujar Menteri Soudan-Nonaults kepada perwakilan Masyarakat Peduli Api yang turut hadir di Markas Manggala Agni. Bahkan, Menteri Soudan-Nonaults mengajak salah satu masyarakat adat Kongo untuk ikut dalam rombongan ke Indonesia sebagai wujud komitmen pemerintah Republik Kongo terhadap pentingnya peran masyarakat lokal dalam pengelolaan gambut.
Di Daops Manggala Agni Pontianak, Menteri Soudan-Nonaults beserta rombongan mempelajari pengolahan cuka kayu sebagai alternatif solusi pembukaan lahan tanpa bakar serta demplot aplikasi cuka kayu. Delegasi Kongo juga berkesempatan menyaksikan kegiatan simulasi pemadaman karhutla untuk memperlihatkan teknis dan kerja sama Manggala Agni dalam melakukan pemadaman.
Pada Minggu (28/10), delegasi Kongo melanjutkan kunjungan ke kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) PT Mayangkara Tanaman Industri di Sanggau, Kabupaten Kubu Raya. Mereka melihat pengelolaan hidrologi di kawasan hutan tanaman industri meliputi infrastruktur, sarana pencegahan kebakaran hutan, dan alat Sesame sebagai alat pendeteksi awal kebakaran.
Di akhir kunjungan, rombongan menengok Aloe Vera Center yang berada di Pontianak. Aloe Vera Center merupakan salah satu UPTD Kalimantan Barat yang secara khusus melakukan budi daya Aloe vera atau lidah buaya dan memproduksinya dalam bentuk makanan atau minuman.
Libatkan semua pihak
KLHK melakukan berbagai upaya untuk mengatasi persoalan lahan gambut yang sering kali menjadi penyebab kebakaran hutan. Salah satunya dengan memperbaiki tata kelola gambut bersama masyarakat dan pihak swasta, terutama yang memiliki konsesi di lahan gambut.
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan keterlibatan masyarakat dan swasta merupakan kunci keberhasilan Indonesia dalam mengelola lahan gambut. Bahkan, upaya tersebut menuai pujian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mengendalikan kebakaran gambut.
“Keberhasilan itu tidak lepas dari kemampuan untuk melibatkan semua pihak secara efektif, mulai dari organisasi kemasyarakatan, termasuk mendorong pemenuhan kewajiban swasta dalam mengela lahan gambut di konsesi mereka,” ujar Siti Nurbaya saat menjadi pembicara di pertemuan mitra kerja GPI-3.
Komitmen Indonesia dalam pemulihan ekosistem gambut termasuk pengembangan sistem monitoring ketinggian permukaan air dan vegetasi di lahan gambut. Website dan portal daring untuk peta dan penggunaan lahan gambut di beberapa kabupaten menjadi percontohan.
“Kami juga memiliki Desa Peduli Gambut sebagai model untuk manajemen lahan gambut terintegrasi yang melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi lahan gambut,” papar Siti.
Hingga empat tahun pemerintahan, KLHK mendorong pihak swasta, terutama yang berada di wilayah hutan tanaman industri (HTI) sebanyak 39 perusahaan, untuk membangun 6.482 sekat kanal dan 287 pintu air. Upaya itu setara dengan 1,675 hektare gambut yang bisa dibasahi kembali.
Sebanyak 109 perusahaan perkebunan juga telah membangun 9.054 sekat kanal, 778 pintu air, dan 229 embung untuk memperbaiki tata kelola air setara 0,822 hektare gambut. Khusus untuk lahan milik masyarakat, intervensi KLHK telah dilakukan seluas 6.266 hektare. (Mut/S4-25)
Hasil kesepakatan dalam pertemuan IGR-4 akan menjadi arah kebijakan internasional terkait dengan lingkungan.
Indonesia is pushing for a joint commitment from 156 corporations to cut down plastic waste, clean up 19 coastal locations, and rehabilitate coral reef formations in 23 sites.
REPRESENTATIVES from member and non-member states of the United Nations (UN) as well as agencies and intergovernmental bodies conferred in Bali from October 31 to November 1 at the Fourth Intergovernmental Review (IGR) Meeting on the Implementation of the Global Programme of Action (GPA) for the Protection of the Marine Environment from Land-based Activities.
THE massive piles of waste polluting both the land and the sea is enough reason for the private sector to carry out the Extended Producer Responsibility (EPR) immediately.
Marine conservation efforts are being carried out by building a framework for waste assessment to monitor marine litter.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved