Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Urgensi Hukum Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Syariah di Indonesia

Rivaldi Saputra, mahasiswa Institut Tazkia
25/6/2025 18:36
Urgensi Hukum Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Syariah di Indonesia
Rivaldi Saputra, mahasiswa Institut Tazkia(DOK PRIBADI)

SEJAK awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek islamic bank.

Sistem syariah di perbankan berkembang pada negara-negara yang kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan as-sunnah. Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jemaah haji secara nonkonvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di Desa Mit Ghamr pada 1963 di Kairo, Mesir.

Suatu hal yang patut juga dicatat adalah saat ini banyak nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming ANZ Chase Chemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang dan anak usaha yang berdasarkan syariah. Dalam dunia pasar modal pun, Islamic fund kini ramai diperdagangkan, suatu hal yang mendorong singa pasar modal dunia Dow Jones untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Scharf, mantan direktur utama Bank Islamic Denmark yang beragama Kristen menyatakan bahwa bank Islam adalah mitra baru pembangunan.

Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan sangat pesat. Sesuai dengan analisa Prof Khursid Ahmad dan laporan International Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim maupun negara-negara di Eropa, Australia, hingga Amerika.

Sistem syariah juga berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawan Rahardjo, A M Saefuddin, M Amien Azis, dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya, Baitul Tamwil-Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.

Urgensi kepatuhan kerangka syariah hukum

Di balik lajunya perkembangan perbankan syariah, masih terdapat banyak hal yang dapat diperdebatkan terkait dengan produk dan operasional bank dari perspektif syariah. Keberatan terhadap terlalu terkonsentrasinya praktik perbankan syariah pada transaksi murabahah dalam produk-produk bank syariah telah menimbulkan pertanyaan filosofis yang mendasar terkait ke arah mana perbankan syariah akan dijadikan sebuah model institusi keuangan baru? Bagaimana hal itu akan mampu membedakannya dari perbankan konvensional jika sebagian besar produk dalam penerapan/implementasinya mirip dengan produk yang berdasarkan pada suku bunga?

Diperkirakan terdapat sekitar 40% bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) dan beberapa bank konvensional yang menawarkan bisnis perbankan Islam tidak mematuhi terhadap prosedur murabahah. Mereka ditenggarai mempraktikkan murabahah dengan cara yang mirip dengan skema konvensional. Ketidakpatuhan ini juga diindikasikan oleh berbagai temuan bank sentral.

Jika prosedur syariah tidak diterapkam dengan baik, berarti skema yang dilakukan adalah melalui prosedur yang konvensional. Praktik itu dilakukan karena bank ingin menghindari terjadinya pajak berganda/double taxation (untuk kasus sebelum dihapusnya pajak ganda), atau mungkin karena alasan penghematan biaya operasional, yang sampai saat ini masih menjadi dalam perbankan syariah.

Faktanya adalah bahwa praktik tersebut bukanlah skema murabahah yang murni, namun lebih mirip dengan skema peminjaman uang merujuk pada tingkat suku bunga tertentu. Ketiadaan atau kekurangan pada panduan good corporate governance (GCG) dalam perbankan syariah (Islam) menyebabkan kesulitan dalam pengukuran terhadap implementasi kepatuhan syariah (shariah compliance), khususnya terhadap operasional dari bisnis perbankan dan tidak semata-mata pada produk yang ditawarkan.

Karakter perbankan Syariah (Islam) yang secara nyata berbeda dari perbankan konvensional memerlukan sebuah GCG yang khusus. Jika hal ini tidak bisa disediakan, perbankan syariah akan kehilangan karakternya yang paling mendasar/fundamental. Selanjutnya, akan menimbulkan ketidakjelasan target dan tujuan di masa depan. Hal ini menjadi bukti bahwa secara kuantitas, di balik perkembangan perbankan Islam, terutama dari jumlah bank dan kantor cabang mereka, dan aset  secara keseluruhan, telah timbul permasalahan terhadap upaya untukmenerapkan prinsip-prinsip syariah.

Persepsi umat Islam tentang bunga

Sekilas, isu terhadap suku bunga tampaknya tidak berhubungan langsung dengan kepatuhan syariah. Meskipun demikian, ketika isu ini dianalisa lebih lanjut, kesimpulannya adalah terjadi sebaliknya. Hal ini karena ketika suatu masyarakat mempersepsikan bahwa suku bunga dalam bank merupakan bentuk dari riba, kepatuhan syariah adalah menjadi sebuah isu yang penting. Atau, bahkan konsep kepatuhan syariah menjadi runtuh.

Sebaliknya, jika masyarakat tidak memandang bahwa suku bunga adalah riba, kepatuhan syariah menjadi kurang penting. Bagi umat muslim di Indonesia, sebuah keputusan hukum yang kuat tentang pelangaran dari bunga bank dalam bank konvensional yang hal itu merupakan riba sangat diperlukan. Namun sayangnya, hal ini baru terjadi pada 2004, yaitu ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendeklarasikan secara resmi keputusan yang telah dibuatnya, yakni No 1/2004 yang menyatakan bahwa suku bunga dianggap sebagai riba dan untuk itu dilarang dalam Islam.

Keputusan dari MUI tidaklah menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi oleh perbankan syariah di negeri ini, meskipun hal ini merupakan hal yang vital dalam meningkatkan kesadaran umat Islam terhadap pentingnya syariah. Perbankan terkait dengan setidaknya dua buah faktor; pengakuan terhadap fatwa, dan juga status dari MUI. Pengakuan terhadap fatwa masih lemah ketika fatwa yang dikeluarkan tersebut tidaklah bersifat mengikat, bahkan terhadap umat Islam sekalipun.

Tampaknya, pemerintah sendiri tidak terlalu dipengaruhi oleh dikeluarkannya fatwa semacam ini. Hal itu dibuktikan dengan tidak munculnya kebijakan yang tegas sampai sejauh ini untuk mem-back-up fatwa tersebut. Kondisi tersebut terkait pada faktor kedua, berupa posisi dari MUI dalam sistem politik di Indonesia. Badan ini tidak lebih dari sekedar organisasi non-pemerintah dengan sebuah posisi khusus sebagai sebuah mitra dari pemerintah. Berbeda dari negara-negara Islam yang terdapat sebuah posisi yang jelas akan larangan terhadap riba yang telah diterima secara luas, di Indonesia masih mengalami permasalahan-permasalahan mendasar dalam hal itu.

Akad syariah dalam perbankan konvensional

Adanya inkonsistensi untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam bisnis perbankan adalah isu fiqh tersendiri dalam praktik perbankan syariah di Indonesia. Hal ini berarti bahwa meskipun perbankan syariah telah menyediakan berbagai produk pembiayaan dan penghimpunan dana yang secara nyata dan tegas disebutkan sebagai 'berbasis pada prinsip-prinsip syariah', namun dalam penerapannya hal tersebut masih dipertanyakan.

Sebagaimana kecenderungan umum dari bisnis perbankan adalah hanya untuk semata-mata keuntungan, permasalahan dari kebanyakan praktisi adalah masih terkungkung pada kerangka pikir (mindset) perbankan konvensional (bank dengan berbasisi bunga). Hal ini karena satu di antara faktor-faktor yang tersembunyi di balik konversi/perpindahan dari beberapa bank konvensional menjadi bank Islam adalah dikarenakan kasus kebangkrutan, dan bukannya karena keinginan yang tulus untuk menciptakan sebuah bisnis perbankan syariah yang sebenarnya.

Dalam latar belakangnya, beberapa bank dikonversi karena bank-bank tersebut dilikuidasi, atau karena ketidakmampuan dari bank tersebut untuk berkompetisi di ranah bisnis perbankan konvensional. Bank syariah, yang merupakan bank Islam (berbendera penuh) kedua di negeri ini adalah merupakan konversi dari Bank Susila Bhakti yang mengalami problem keuangan setelah terjadinya krisis ekonomi.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya