Headline

KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.

Industri Desak Kepastian Pasokan Gas, HGBT Dinilai Penopang Daya Saing

M Ilham Ramadhan Avisena
25/8/2025 15:46
Industri Desak Kepastian Pasokan Gas, HGBT Dinilai Penopang Daya Saing
Ilustrasi(Antara)

Dunia industri mengkritisi kebijakan energi nasional, terutama soal pembatasan pasokan gas dan surcharge jika melebihi kuota. Padahal industri membutuhkan kepastian keberlanjutan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) agar tetap mampu bertahan dan bersaing di tengah tekanan global.

Staf Ahli Menteri Perindustrian bidang Penguatan Kemampuan Industri Dalam Negeri periode 2021-2024, Ignatius Warsito menegaskan, HGBT yang berjalan pada 2020 sedari awal memang ditujukan untuk penguatan ketahanan industri. Menurutnya, kebijakan itu tidak boleh dihentikan hanya karena ada kendala pasokan. 

"RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri penting diperkuat dengan situasi global, perang dagang AS-Tiongkok dan konflik di Timur Tengah yang membuat harga energi serta bahan baku semakin menentukan ketahanan dan daya saing industri dalam negeri," ujarnya dikutip dari siaran pers, Senin (25/8). 

Ia menyoroti perlunya penyelarasan kebijakan agar benar-benar berpihak pada industri. Selain itu, kriteria terkait siapa yang berhak menerima HGBT juga tidak bisa hanya didasarkan pada pertimbangan fiskal atau penerimaan negara saja.

"Tetapi juga perlu dilihat dari aspek produktivitas tenaga kerja, jaminan pasokan gas, harga gas yang _reasonable_, investasi energi baru terbarukan, modernisasi teknologi serta strategi hilirisasi industri,” kata Warsito. 

Meski begitu, Warsito juga mengingatkan bahwa gas murah saja tidak cukup. Diperlukan juga upaya untuk dapat meningkatkan utilisasi produksi agar pemanfaatan gas murah bisa lebih optimal. 

"Artinya HGBT bukan solusi tunggal, namun perlu dilengkapi dengan kebijakan industri lainnya seperti restrukturisasi teknologi dan peningkatan efisiensi," tuturnya. 

Pada kesempatan berbeda, Mantan Direktur Pengusahaan Perusahaan Gas Negara (PGN), Michael Baskoro menguatkan pandangan industri dengan menekankan bahwa masalah utama ada di sisi pasokan. "PGN hanya berperan sebagai wholesaler, bukan produsen gas. Jadi akar masalah sebenarnya ada pada declining supply gas domestik," terangnya. 

Baskoro menilai penurunan pasokan ini langsung memukul industri. Ia menambahkan, dalam jangka pendek, impor LNG adalah opsi paling realistis untuk memenuhi pasokan untuk industri.

"Namun harga LNG cukup mahal, bisa mencapai USD 14-16 per MMBTU, tergantung faktor pembentuk harganya seperti shipping, regasifikasi, transportasi dan biaya lainnya," jelasnya.

Sementara itu, Tenaga Ahli Menteri ESDM bidang Tata Kelola Hilirisasi 2020–2024, Musthofa menjelaskan urgensi yang mengutamakan kebutuhan gas dalam negeri. "Masalah saat ini bukan kebijakan HGBT. Masalahnya adalah kekurangan pasokan karena produksi gas menurun. Penurunan produksi gas ini ke depan makin tajam," terangnya.

Ia menekankan, solusi harus berpihak kepada industri nasional. Salah satu solusi untuk masalah kekurangan gas ini, kata dia, bisa diatasi dengan merubah alokasi LNG yang untuk ekspor dipakai untuk dalam negeri.

"Namun itu tidak mudah karena menyangkut masalah penurunan pendapatan pemerintah dan kontrak ekspor yang sudah ada. Solusinya hanya bisa dilakukan oleh high level pemerintah," tegasnya.

Musthofa juga mengkritisi distribusi yang tidak berpihak pada industri yang membutuhkan. "Kelebihan gas Jatim bisa untuk menutup kebutuhan di Jabar. Jangan dipakai untuk proyek Metanol di Jawa Timur, ini keputusan yang perlu dipertimbangkan kembali karena kebutuhan gas di Jawa barat besar dan pasokan  gas dari Sumsel dan Jawa Barat sendiri akan semakin turun sehingga memerlukan gas dari Jawa Timur yang akan dialirkan melalui pipa gas yang di bangun oleh pemerintah," jelasnya. 

Adapun Ketua Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK PII) Sripeni Inten Cahyani menyatakan, sebagai rumahnya para insinyur kimia Indonesia, pihaknya mendukung rencana program hilirisasi batubara menjadi methanol dan dilanjutkan diprosesnya menjadi DME (Dimetil Eter). 

"Saat ini pemerintah menanggung beban import methanol yang besar, sementara batubara Indonesia melimpah dan hilirisasi batubara didepan mata bagian solusi tersebut dan manjedi bagian program peningkatan nilai tambah yang signifikan dari sumber daya alam Indonesia yang berlimpah," pungkasnya. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya