Headline

DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Blokir Rekening Dormant, PPATK Dianggap Menyimpang

Insi Nantika Jelita
31/7/2025 19:50
Blokir Rekening Dormant, PPATK Dianggap Menyimpang
Ilustrasi(Antara)

Terkait pemblokiran rekening dormant, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini menilai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menyimpang dari tugas dan fungsinya. PPATK disebut tidak memiliki kewenangan langsung untuk memblokir rekening nasabah bank.

"Dalam kasus ini PPATK, sudah keluar jalur dari tugas dan fungsinya," ujarnya dalam keterangan yang diterima Media Indonesia, Kamis (31/7).

Didik menuding tindakan PPATK telah melampaui batas kewenangannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam regulasi tersebut, tugas utama PPATK adalah mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (TPPU), serupa dengan peran OJK, Bank Indonesia, dan lembaga keuangan lainnya.

Apabila terdapat laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), PPATK seharusnya menyampaikan hasil analisis dan rekomendasi kepada aparat penegak hukum, bukan bertindak sendiri dengan memblokir rekening secara masif.

"PPATK bukan lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan eksekusi langsung," tegas Didik.

Ia menuturkan kewenangan pemblokiran rekening hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum (APH). Seperti, penyidik, jaksa, atau hakim yang berdasarkan rekomendasi PPATK, dan dapat menginstruksikan penyedia jasa keuangan, seperti bank, untuk melakukan pemblokiran. PPATK disebut hanya berperan memberikan data dan analisis, bukan mengambil tindakan eksekusi.

"PPATK sifatnya hanya dapat merekomendasikan berdasarkan hasil analisis dan tidak mengeksekusi langsung blokir," tuturnya.

Didik juga menyoroti peran pimpinan PPATK dalam kebijakan tersebut. Menurutnya, kebijakan yang diambil menunjukkan ketidakmampuan pejabat tersebut dalam menjalankan tugas secara profesional. Akibatnya, kebijakan itu tidak efektif.

"Ini menandakan pemimpinya tidak kompeten menjalankan tugasnya sehingga kebijakan tersebut selain tidak efektif, juga meresahkan publik," tukasnya.

Didik menegaskan, pejabat yang tidak kompeten seperti ini seharusnya diberikan sanksi tegas, baik berupa peringatan maupun pemberhentian dari jabatannya. Kesalahan ini juga mencerminkan kelalaian pemerintah dalam memilih pejabat yang tidak memiliki kapabilitas di bidangnya. Maka dari itu, pemerintah turut bertanggung jawab atas kebijakan yang merugikan ini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya