Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
FENOMENA rombongan jarang beli atau rojali diduga kembali muncul di pusat-pusat perbelanjaan. Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyebut fenomena tersebut bukanlah hal baru.
Menurut dia, masyarakat bebas untuk menentukan pilihan untuk berbelanja secara daring ataupun luring. Masyarakat juga berhak melihat sebuah produk di mal dan kemudian membelinya secara daring. Hal ini adalah cara masyarakat untuk melihat kualitas barang secara langsung.
"Kan kita bebas kan. Saya bilang kan kita, tuh, bebas mau beli di (toko) online, mau beli di (toko) offline, kan, bebas. Kan, dari dulu juga ada itu," ujar Budi di Jakarta, Rabu (23/7).
Hal itu, sambungnya, merupakan strategi konsumen untuk melihat dan menganalisa sebuah produk yang diminati secara langsung. Di samping itu, melihat produk secara langsung di pusat perbelanjaan merupakan hal yang lumrah.
Dirinya juga menekankan pemerintah tidak bisa mengintervensi masyarakat untuk mewajibkan pembelian produk harus dilakukan di mal atau toko fisik lainnya.
"Dari dulu kan begitu, namanya orang mau belanja dicek dulu, yang pengin lihat barangnya baguskah, harganya seperti apa. Jangan sampai nanti dapat yang palsu, misalnya, kan, git. (Jika) dapat barang rekondisi, makanya dicek barangnya bagus," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan rojali sudah lama terjadi di Indonesia, namun dari waktu ke waktu jumlahnya terus meningkat.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan intensitas fenomena ini terus meningkat, salah satunya adalah melemahnya daya beli masyarakat.
"Penyebabnya juga banyak, kalau yang di kelas menengah atas mereka lebih hati-hati dalam berbelanja apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global sehingga mereka belanja atau investasi. Kan itu juga terjadi," Alphonzus.
Dari sisi kelas menengah bawah, penyebab dari rojali adalah daya beli masyarakat yang berkurang, sehingga mereka akan lebih memilih produk atau barang yang harga satuannya lebih murah.
Ia mengatakan jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan tetap naik meski tidak signifikan. Namun, pola belanjanya mulai mengalami pergeseran.
"Pola belanjanya, satu mereka jadi lebih selektif berbelanja, kalau tidak perlu ya tidak. Kemudian kalaupun belanja, beli barang produk yang harga satuan yang unit price-nya murah. Jadi saya kira fenomena ini yang terjadi," ujar dia. (Ant/E-4)
KETUA Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja menyatakan turut mengomentari fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana).
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2025 menjadi sebuah paradoks dari daya beli yang sedang menurun.
Rojali dan Rohana merupakan bentuk reaksi alami dari masyarakat yang tengah mengalami pelemahan daya beli.
Sering kali orang berperilaku seolah ingin membeli sesuatu sebagai strategi untuk membentuk citra diri sebagai konsumen berdaya beli di hadapan orang lain.
Di tengah kabar baik turunnya angka kemiskinan nasional, pemerintah kini menghadapi tantangan baru: daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Meski begitu, fenomena ini justru membawa dampak positif bagi sektor makanan dan minuman (F&B), yang mengalami peningkatan pendapatan sebesar 5% hingga 10%.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved