Headline

Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.

Fokus

Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.

Pertumbuhan Lambat, Indonesia Tertinggal dalam Sektor Penetrasi Asuransi

Cahya Mulyana
15/7/2025 05:55
Pertumbuhan Lambat, Indonesia Tertinggal dalam Sektor Penetrasi Asuransi
Ilustrasi.(MI)

Pertumbuhan Lambat, Indonesia Tertinggal dalam Sektor Penetrasi Asuransi

PERAN industri asuransi umum dalam sektor keuangan nasional masih tergolong kecil, tercermin dari kinerjanya sepanjang 2024. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pendapatan premi asuransi umum hanya tumbuh sebesar 5,36% menjadi Rp117,71 triliun, menurun jauh dibandingkan pertumbuhan pada 2023 yaitu 19,52%. 

Laba bersih bahkan anjlok drastis hingga minus Rp8,94 triliun pada akhir 2024, mencerminkan penurunan sebesar 197,79% dari pertumbuhan positif tahun sebelumnya. Sementara itu, total aset asuransi umum hanya meningkat tipis 7,77% sebesar Rp242,91 triliun. 

Tantangan Besar?

Data ini mengindikasikan bahwa sektor asuransi umum masih menghadapi tantangan besar dalam memperkuat kontribusinya terhadap dinamika industri keuangan nasional. 

Sebaliknya, sepanjang 2025, industri perbankan menunjukkan kinerja positif dengan pertumbuhan kredit sebesar 9,16% secara tahunan (YoY) menjadi Rp7.908 triliun. Peningkatan ini ditopang oleh pertumbuhan penyaluran kredit pada segmen investasi, konsumsi, dan modal kerja. 

Tertinggal Jauh?

Sementara itu, total aset perbankan meningkat 6,7% YoY, mencapai Rp12.492,32 triliun. Berdasarkan data OJK per September 2024, penetrasi asuransi di Indonesia baru mencapai 2,6% terhadap PDB, jauh tertinggal dari negara lain seperti Malaysia (4,8%), Jepang (7,1%), dan Singapura (11,4%).

Penetrasi asuransi umum bahkan lebih rendah, hanya 0,53%, mencerminkan kontribusi yang masih sangat terbatas terhadap perekonomian nasional. Selain itu, densitas asuransi umum masih rendah, yaitu sekitar Rp417 ribu per kapita per tahun. Hal tersebut menandakan bahwa masyarakat rata-rata hanya mengalokasikan dana kecil untuk perlindungan risiko. 

Stabilitas Ekonomi?

Rendahnya angka penetrasi menunjukkan terbatasnya peran asuransi dalam menopang stabilitas ekonomi, sementara densitas yang rendah mencerminkan produk asuransi belum menjangkau masyarakat secara luas, baik dari sisi aksesibilitas maupun keterjangkauan. Kondisi ini menjadi sinyal kuat perlunya reformasi strategi distribusi dan pengembangan produk yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan adanya ketimpangan antara pertumbuhan industri asuransi dan perbankan meskipun keduanya berada dalam satu sektor keuangan yang seharusnya tumbuh saling mendukung. Namun, realitas menunjukkan bahwa industri asuransi masih tertinggal jauh, baik dari sisi penetrasi maupun inklusi. Ketimpangan ini juga tercermin dari kesenjangan antara literasi dan inklusi. 

Literasi Asuransi?

Pada 2025, tingkat literasi asuransi masyarakat mencapai 45,45%. Namun, tingkat inklusinya hanya mencapai 28,5%. Artinya, meskipun pemahaman masyarakat terhadap asuransi semakin meningkat, hal ini belum sepenuhnya berujung pada penggunaan produk. 

Sebaliknya, sektor perbankan mencatat capaian inklusi yang lebih baik, dengan 36% masyarakat dewasa telah memiliki akses terhadap layanan keuangan formal. Ini menunjukkan bahwa tantangan utama asuransi bukan hanya pada pemahaman, tetapi pada konversi pengetahuan menjadi partisipasi nyata

Inovasi Produk?

Di sisi lain, inovasi produk asuransi juga belum sepeunuhnya menjawab kebutuhan segmen masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Saluran distribusi digital pun belum mampu mendorong penetrasi ke segmen pasar yang lebih luas. Selain itu, minimnya insentif fiskal bagi pemegang polis juga menjadi faktor pembatas, terutama jika dibandingkan dengan dukungan fiskal yang lebih besar terhadap sektor perbankan. Kombinasi hambatan ini memperlambat laju pertumbuhan asuransi umum untuk berkembang sejajar dengan perbankan

Corporate Planning and Strategy Division BRI Insurance Aryo Swastika dalam keterangannya di Jakarta, Senin (15/7), mengatakan untuk menjawab tantangan tersebut, perusahaan asuransi perlu mengambil langkah strategis yang tidak hanya bersifat taktis tetapi juga berdampak jangka panjang. Salah satu strategi yang potensial adalah optimalisasi kanal bancassurance. 

Tepat Sasaran?

Menurut dia, kanal ini memungkinkan produk asuransi umum ditawarkan secara tepat sasaran, efisien, dan melekat pada kebutuhan nyata nasabah dengan memanfaatkan kepercayaan serta infrastruktur bank yang telah mapan. Namun, berdasarkan data AAUI, kontribusi premi dari kanal bancassurance justru mengalami penurunan 27,4% pada 2024. 

Hal ini kontras dengan kanal seperti broker dan direct marketing yang justru mencatat pertumbuhan masing-masing 17,6% dan 17,5%. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi bancassurance belum dioptimalkan secara strategis, bukan karena pasarnya kecil, tetapi karena pendekatannya belum terstruktur dan proaktif

"Solusi lainnya adalah meningkatkan eksposur asuransi umum melalui integrasi dalam ekosistem layanan perbankan. Saat nasabah membuka rekening, mengajukan KPR, atau kredit kendaraan, kebutuhan proteksi muncul secara alami," katanya. 

Kebutuhan Alami?

Dia mengelaborasi kebutuhan proteksi muncul secara alami ketika nasabah membuka rekening, mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR), atau kredit kendaraan.

Pada momen itu, produk seperti asuransi kebakaran, kendaraan, atau pengiriman barang dianggap perlu ditawarkan secara otomatis dan dijelaskan dengan bahasa yang sederhana, sehingga menjadi bagian dari perjalanan finansial nasabah, bukan sekadar tambahan.

"Edukasi juga dapat diperkuat melalui kanal komunikasi yang telah dipercaya nasabah, seperti push notification aplikasi mobile banking atau email resmi bank. Pendekatan ini mendorong nasabah untuk mengenali risiko yang dapat diasuransikan serta menjelajahi produk asuransi secara mandiri dan aman," jelas dia.

Konsep SMES?

Rekomendasi lainnya yaitu menyoal inovasi produk asuransi umum yang perlu diarahkan pada konsep SMES (Sederhana, Murah, Ekonomis, dan Segera), mengingat tingkat densitas asuransi umum di Indonesia masih tergolong rendah.

Menurutnya, hal tersebut mencerminkan preferensi masyarakat terhadap produk dengan premi terjangkau dan proses yang tidak rumit. Produk asuransi dengan nilai pertanggungan besar serta fitur kompleks juga dinilai belum tentu sesuai dengan daya beli maupun kebutuhan pasar saat ini

"Oleh karena itu, pengembangan produk seperti asuransi mikro untuk rumah tinggal, tempat usaha, UMKM, atau kebakaran skala kecil menjadi sangat relevan. Produk-produk ini idealnya dapat diakses secara digital dan dilengkapi dengan proses klaim yang sederhana," pungkasnya. (Cah/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya