Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Momentum perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78 merupakan waktu yang tepat untuk mengevaluasi agenda pembangunan dan kebijakan ekonomi nasional.
Kondisi ekonomi global yang masih bergejolak, dengan konflik Rusia-Ukraina yang masih berlanjut, ketidakstabilan pasar keuangan, fragmentasi geopolitik, hingga perubahan iklim perlu menjadi perhatian dalam menavigasi perkembangan ekonomi dan bisnis ke depan.
Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo mengatakan untuk mewujudkan visi Indonesia Maju 2045, berbagai tahapan yang dilewati perlu dipastikan tercapai dengan baik.
Salah satu yang menjadi indikator penting adalah isu-isu kemandirian dan kedaulatan, baik terkait ketahanan energi, pangan, dan hilirisasi. Kedaulatan ekonomi tentunya salah satu sasaran penting untuk dicapai.
Kedaulatan ekonomi dapat diartikan sebagai kemandirian menguasai berbagai sumber daya penting dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam memenuhi kesejahteraan masyarakatnya.
Negara dapat dikatakan berdaulat secara ekonomi melalui kemandirian dua elemen yang tidak hanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat, namun juga merupakan kebutuhan dasar manusia yaitu pangan dan energi.
"Pernyataan Presiden RI pertama tersebut merefleksikan begitu pentingnya kedaulatan pangan dalam membangun suatu peradaban," kata Banjaran, dalam laporan BSI Institute Quaterly, dikutip Rabu (23/8).
Neraca perdagangan Indonesia, memang selalu surplus dalam dua tahun terakhir karena terbantu dari ekspor non-migas yang selalu meningkat. Menurut data Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan surplus sebesar Rp242,35 triliun dengan proporsi ekspor 55,1% dan impor 44,9% pada Januari-April 2023.
"Meski begitu, komposisi barang-barang impor perlu menjadi perhatian," kata Banjaran.
Dari total Rp1.061,5 triliun impor, 74,52%-nya merupakan impor bahan baku/penolong, dan industri pangan mengandalkan sekitar 65% bahan baku impor.
"Hal ini merupakan ironi. Sebab Indonesia sebagai negara agraris dan maritim belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku untuk berbagai sektor manufaktur termasuk pangan," kata Banjaran.
Di sisi lain, sektor pertanian merupakan kontributor kedua terbesar dalam PDB yaitu 13,25% pada semester I-2023 (BPS) dan menyumbang 13,22% penyerapan tenaga kerja nasional, kedua tertinggi setelah sektor industri pengolahan (19,63%)
Bahkan sebagai negara produsen coklat terbesar ke-3 di dunia, Indonesia masih mengimpor biji coklat sebesar 63% atau sebesar Rp12,42 triliun pada 2022 (FAO). "Indonesia perlu berbenah," kata Banjaran.
Beberapa hal yang perlu dilakukan ialah menciptakan iklim investasi yang kondusif guna mendorong pengembangan teknologi dan inovasi dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Selain itu, Indonesia perlu melakukan perbaikan baik di sisi on farm dan off farm, sehingga mempunyai nilai tambah, tidak hanya mengekspor produk mentah.
Di sisi lain, mengatasi ketergantungan impor bahan baku memerlukan kebijakan yang holistik dari hulu ke hilir dengan memaksimalkan sumber daya lokal dan mendukung link and match antara pusat riset perguruan tinggi, industri, dan pemerintah untuk melakukan sinergi inovasi pangan hingga dapat diaplikasikan oleh industri.
Inovasi-inovasi perguruan tinggi seyogyanya tidak hanya berhenti sebagai eksperimen laboratorium, namun harus bisa mencapai skala komersial. Berbeda dengan neraca perdagangan non-migas, perdagangan migas Indonesia justru secara konstan mengalami defisit setiap tahun.
Pada 2022, neraca perdagangan migas defisit hingga Rp368,72 miliar (Kemendag RI). Hal ini mengindikasikan Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sehingga masih harus mengimpor migas.
Menurut Kementerian ESDM, realisasi lifting minyak dan gas bumi pada 2022 berada di bawah target yaitu masing-masing hanya mencapai 86,34% dan 90,68% dari target.
Target tersebut turun dari tahun 2021 dan merupakan yang terendah dalam 13 tahun terakhir. Hal ini dikarenakan kurangnya eksplorasi potensi cekungan migas secara masif yang juga perlu didukung dengan infrastruktur dan teknologi yang lebih maju.
Sektor energi memang merupakan sektor padat modal sehingga memerlukan investasi yang sangat besar. Namun kenyataannya, daya tarik investasi migas di Indonesia juga mengalami tren stagnan.
Internal Rate of Return (IRR) sektor migas Indonesia masih jauh berada di bawah IRR global sebesar 10,4%. Setidaknya menurut SKK Migas, sektor hulu migas membutuhkan investasi sebesar Rp38 triliun hingga 2030.
"Sulitnya meningkatkan daya tarik investor di sektor energi terutama di sektor hulu antara lain dikarenakan lamanya proses perizinan serta imbal hasil yang kurang menarik. Maka peningkatan iklim investasi yang menarik perlu segera dilakukan," kata Banjaran.
Selain itu, jumlah refinery harus ditingkatkan guna meminimalisir biaya produksi cost akibat pemrosesan minyak mentah di luar negeri.
Transisi energi hijau serta pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) juga tak kalah penting. Dengan kondisi geografis yang strategis, Indonesia bisa memanfaatkan panas bumi (energi geotermal), serta energi surya dan angin sebagai pembangkit listrik guna mengurangi ketergantungan minyak mentah untuk bahan bakar.
"Komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 perlu dimulai dari sekarang," kata Banjaran. (Try/E-1)
NERACA perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada Mei 2025 sebesar US$4,30 miliar.
Dengan konsumsi masyarakat Kabupaten Mukomuko, lanjut dia, yang hanya 20 ribu ton per tahun, maka terdapat surplus sekitar 20 ribu ton beras.
Realisasi pendapatan negara per April 2025 mencapai Rp810,5 triliun atau setara 27% dari target APBN 2025.
KUASA Hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi menilai kebijakan impor raw sugar alias gula kristal mentah yang kala itu diterbitkan oleh Tom Lembong bukan sebuah masalah.
Kinerja ekspor nonmigas mendominasi dengan 98,34% dari total perdagangan luar negeri, pada Januari 2025.
Neraca perdagangan barang Indonesia pada September 2024 mengalami surplus US$3,26 miliar. Nilai surplus tersebut lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat US$2,78 miliar.
Neraca perdagangan Indonesia pada April tercatat surplus sebesar US$160 juta. Kendati surplus, angka ini turun drastis dibandingkan capaian pada Maret 2025 yang mencapai US$4,33 miliar.
Surplus neraca perdagangan Indonesia masih mencatat angka besar, namun sejumlah risiko mulai mengintai kelanjutannya. Pada Maret 2025, surplus dagang Indonesia mencapai US$4,33 miliar.
Kebijakan tarif impor AS itu akan mengganggu neraca pembayaran Indonesia, khususnya neraca perdagangan dan arus investasi. Ini mengingat AS adalah mitra dagang utama Indonesia.
EKONOM Bank Danamon Indonesia Hosianna Evalita Situmorang menuturkan penurunan surplus neraca perdagangan pada Februari 2025 dibandingkan Januari lebih disebabkan oleh peningkatan impor.
NERACA perdagangan Indonesia masih resilien di tengah pelemahan ekonomi global. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ssebesar US$3,45 miliar atau senilai Rp55,81 triliun pada Januari 2025.
Bergabungnya Indonesia menjadi anggota penuh BRICS adalah Indonesia bisa membuka akses market ke pasar global dan potensi meningkatkan kualitas neraca dagang luar negeri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved