Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

BSI Institute : Indonesia Perlu Berbenah

Fetry Wuryasti
23/8/2023 13:32
BSI Institute : Indonesia Perlu Berbenah
Smelter milik Antam. Pencapaian yang telah dicapai saat ini perlu terus dievaluasi menuju Indonesia 2045(Antara/Jojon)

Momentum perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78 merupakan waktu yang tepat untuk mengevaluasi agenda pembangunan dan kebijakan ekonomi nasional.

Kondisi ekonomi global yang masih bergejolak, dengan konflik Rusia-Ukraina yang masih berlanjut, ketidakstabilan pasar keuangan, fragmentasi geopolitik, hingga perubahan iklim perlu menjadi perhatian dalam menavigasi perkembangan ekonomi dan bisnis ke depan.

Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo mengatakan untuk mewujudkan visi Indonesia Maju 2045, berbagai tahapan yang dilewati perlu dipastikan tercapai dengan baik.

Salah satu yang menjadi indikator penting adalah isu-isu kemandirian dan kedaulatan, baik terkait ketahanan energi, pangan, dan hilirisasi. Kedaulatan ekonomi tentunya salah satu sasaran penting untuk dicapai.

Kedaulatan ekonomi dapat diartikan sebagai kemandirian menguasai berbagai sumber daya penting dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam memenuhi kesejahteraan masyarakatnya.

Negara dapat dikatakan berdaulat secara ekonomi melalui kemandirian dua elemen yang tidak hanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat, namun juga merupakan kebutuhan dasar manusia yaitu pangan dan energi.

"Pernyataan Presiden RI pertama tersebut merefleksikan begitu pentingnya kedaulatan pangan dalam membangun suatu peradaban," kata Banjaran, dalam laporan BSI Institute Quaterly, dikutip Rabu (23/8).

Neraca perdagangan Indonesia, memang selalu surplus dalam dua tahun terakhir karena terbantu dari ekspor non-migas yang selalu meningkat. Menurut data Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan surplus sebesar Rp242,35 triliun dengan proporsi ekspor 55,1% dan impor 44,9% pada Januari-April 2023.

"Meski begitu, komposisi barang-barang impor perlu menjadi perhatian," kata Banjaran.

Dari total Rp1.061,5 triliun impor, 74,52%-nya merupakan impor bahan baku/penolong, dan industri pangan mengandalkan sekitar 65% bahan baku impor.

"Hal ini merupakan ironi. Sebab Indonesia sebagai negara agraris dan maritim belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku untuk berbagai sektor manufaktur termasuk pangan," kata Banjaran.

Di sisi lain, sektor pertanian merupakan kontributor kedua terbesar dalam PDB yaitu 13,25% pada semester I-2023 (BPS) dan menyumbang 13,22% penyerapan tenaga kerja nasional, kedua tertinggi setelah sektor industri pengolahan (19,63%)

Bahkan sebagai negara produsen coklat terbesar ke-3 di dunia, Indonesia masih mengimpor biji coklat sebesar 63% atau sebesar Rp12,42 triliun pada 2022 (FAO). "Indonesia perlu berbenah," kata Banjaran.

Beberapa hal yang perlu dilakukan ialah menciptakan iklim investasi yang kondusif guna mendorong pengembangan teknologi dan inovasi dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.

Selain itu, Indonesia perlu melakukan perbaikan baik di sisi on farm dan off farm, sehingga mempunyai nilai tambah, tidak hanya mengekspor produk mentah.

Di sisi lain, mengatasi ketergantungan impor bahan baku memerlukan kebijakan yang holistik dari hulu ke hilir dengan memaksimalkan sumber daya lokal dan mendukung link and match antara pusat riset perguruan tinggi, industri, dan pemerintah untuk melakukan sinergi inovasi pangan hingga dapat diaplikasikan oleh industri.

Inovasi-inovasi perguruan tinggi seyogyanya tidak hanya berhenti sebagai eksperimen laboratorium, namun harus bisa mencapai skala komersial. Berbeda dengan neraca perdagangan non-migas, perdagangan migas Indonesia justru secara konstan mengalami defisit setiap tahun.

Pada 2022, neraca perdagangan migas defisit hingga Rp368,72 miliar (Kemendag RI). Hal ini mengindikasikan Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sehingga masih harus mengimpor migas.

Menurut Kementerian ESDM, realisasi lifting minyak dan gas bumi pada 2022 berada di bawah target yaitu masing-masing hanya mencapai 86,34% dan 90,68% dari target.

Target tersebut turun dari tahun 2021 dan merupakan yang terendah dalam 13 tahun terakhir. Hal ini dikarenakan kurangnya eksplorasi potensi cekungan migas secara masif yang juga perlu didukung dengan infrastruktur dan teknologi yang lebih maju.

Sektor energi memang merupakan sektor padat modal sehingga memerlukan investasi yang sangat besar. Namun kenyataannya, daya tarik investasi migas di Indonesia juga mengalami tren stagnan.

Internal Rate of Return (IRR) sektor migas Indonesia masih jauh berada di bawah IRR global sebesar 10,4%. Setidaknya menurut SKK Migas, sektor hulu migas membutuhkan investasi sebesar Rp38 triliun hingga 2030.

"Sulitnya meningkatkan daya tarik investor di sektor energi terutama di sektor hulu antara lain dikarenakan lamanya proses perizinan serta imbal hasil yang kurang menarik. Maka peningkatan iklim investasi yang menarik perlu segera dilakukan," kata Banjaran.

Selain itu, jumlah refinery harus ditingkatkan guna meminimalisir biaya produksi cost akibat pemrosesan minyak mentah di luar negeri.

Transisi energi hijau serta pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) juga tak kalah penting. Dengan kondisi geografis yang strategis, Indonesia bisa memanfaatkan panas bumi (energi geotermal), serta energi surya dan angin sebagai pembangkit listrik guna mengurangi ketergantungan minyak mentah untuk bahan bakar.

"Komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 perlu dimulai dari sekarang," kata Banjaran. (Try/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya