PERISET dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai tren penyusutan nilai surplus dagang Indonesia akan terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan. Bahkan, diperkirakan neraca dagang akan kembali mengalami defisit di awal triwulan II 2023.
"Seiring dengan potensi melambatnya harga komoditas dan meningkatnya kebutuhan impor untuk beragam produk industri di bulan Ramadan nanti, maka saya kira ada peluang neraca dagang surplusnya akan membalik menjadi defisit di awal triwulan kedua nanti," ujarnya kepada Media Indonesia, Rabu (15/2).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai surplus dagang Indonesia kian menyusut mulai Oktober 2022. Saat itu, surplus dagang Indonesia senilai US$5,67 miliar. Penurunan juga terjadi pada November 2022 dengan nilai US$$4,64 miliar.
Susutnya nilai surplus dagang Indonesia kembali terjadi di Desember 2022 yang tercatat sebesar US$3,89 miliar. Itu berlanjut di Januari 2023 meski tipis dengan nilai surplus dagang US$3,87 miliar.
Yusuf mengatakan, hal itu tak luput dari normalisasi harga sejumlah komoditas unggulan Indonesia di level internasional. "Meski komoditas seperti CPO masih mengalami pertumbuhan, tapi sifat pertumbuhannya relatif marjinal atau tipis jika dibandingkan dengan bulan Desember 2022," terangnya.
Hal itu sekaligus menunjukkan betapa bergantungnya Indonesia pada komoditas bahan baku utama meski diversifikasi ekspor telah dilakukan. Bahkan fluktuasi harga komoditas unggulan nasional kerap kali terefleksi pada kinerja ekspor.
Karenanya, Yusuf sepakat bahwa pemerintah harus bekerja ekstra untuk mendorong peningkatan nilai tambah pada komoditas ekspor. Upaya hilirisasi juga sejatinya tak dilakukan terbatas pada komoditas tertentu. (OL-8)