Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SKEMA power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik dalam RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional.
Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Abra Talattov berpendapat pasal hantu itu dapat dibaca sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi. Mengingat, ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara.
"Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujar Abra dalam keterangannya, Kamis (27/10)
Abra memaparkan tiga alasan publik perlu mencermati sejumlah pasal siluman dalam RUU EBT, yakni Pasal 29 A, Pasal 47 A dan Pasal 60 ayat 5). Pertama, tidak ada urgensi untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.
Menurutnya, tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT. Jaminan itu tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPLT tersebut, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3% atau setara dengan 11,8 GW. "Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%," pungkasnya.
Kedua, pengusulan skema power wheeling dikatakannya kurang relevan. Pasalnya, saat ini beban negara semakin berat menahan kompensasi listrik, akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak.
Lebih lanjut, dirinya menyoroti kondisi sektor ketenagalistrikan yang sangat miris karena terjadi disparitas antara supply dan demand. Sehingga, pada tahun ini diproyeksikan terjadi oversupply listrik hingga 6-7 GW.
"Situasi oversupply listrik berpotensi makin membengkak, karena masih ada penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026. Itu sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," imbuh Abra.
Ketiga, terdapat implikasi kerusakan pada kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun per GW.
"Secara sederhana, kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48-56 GW, atau setara dengan tambahan biaya Rp144-168 triliun," tutupnya.(OL-11)
Ketidakpastian kebijakan cukai dari tahun ke tahun, seperti lonjakan 23% pada 2020, dapat memicu reaksi ekstrem dari industri, termasuk PHK dan relokasi produksi.
Izin untuk pemerintah daerah menggelar rapat di hotel harus disikapi secara bijak dalam hal penggunaan anggaran
Data 2023 mengungkapkan biaya yang harus dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan untuk penanganan kanker mencapai Rp5,97 triliun.
PEMERINTAH Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, telah menjalankan langkah-langkah antisipatif menghadapi ancaman perubahan iklim sejak 2024.
Dewan Industri Event Indonesia (Ivendo) optimistis masih bisa terus bertumbuh meski terdapat tekanan politik dan ekonomi, baik di lingkup nasional maupun global.
AKADEMISI dan pengamat kebijakan publik Undiknas Denpasar, I Nyoman Subanda, mengungkapkan kebijakan untuk mengurangi sampah plastik patut didahului dengan kajian
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved