Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Langkah Eropa Kembali ke Energi Fosil Hanya Sementara Akibat Perang

M. Ilham Ramadhan Avisena
28/6/2022 20:07
Langkah Eropa Kembali ke Energi Fosil Hanya Sementara Akibat Perang
Ilustrasi(Antara)

KEPALA Ekonom dari Shell Internasional Malika Ishwaran menilai, langkah sejumlah negara Eropa beralih menggunakan energi fosil hanya akan bersifat sementara. 

Pasalnya, pasokan gas dari Rusia terpaksa dihentikan sebagai dampak perang.

"Dampaknya akan berbeda di tiap negara. Di Eropa, akan berdampak ke jangka pendek. Permintaan batu bara mungkin akan naik selama 3 tahun dan kemudian beralih ke energi baru terbarukan," ujarnya dalam sebuah diskusi bersama pewarta di Jakarta, Selasa (28/6).

Hal tersebut kata dia, tidak akan berdampak signifikan pada komitmen penggunaan energi bersih seperti yang tertuang dalam Paris Agreement maupun COP26. Di Amerika Serikat misalnya, penggunaan gas sebagai sumber daya kian masif kendati berada di tengah ancaman krisis.

Begitu pula dengan Tiongkok, kendati telah menyatakan akan kembali memanfaatkan energi fosil, Malika menilai hal itu tidak akan bertahan lama. 

Sebab Negeri Tirai Bambu telah menyatakan komitmen untuk menerapkan penggunaan EBT dalam 5-6 tahun ke depan.

"Saya rasa itu hanya sementara karena mereka memiliki komitmen dalam 5-6 tahun lagi mulai menggunakan energi baru," jelasnya.

Malika justru mengkhawatirkan kondisi negara berkembang mengenai keputusan negara Eropa memanfaatkan kembali energi fosil. Pasalnya negara berkembang tak memiliki kapasitas fiskal maupun kemampuan yang sama untuk mendapatkan energi bersih.

Bila pun ingin melaksanakan transisi, negara berkembang akan kesulitan lantaran harga gas cukup mahal. "Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kondisi negara berkembang seperti Indonesia dan India, kita tahu harga gas itu sangat mahal di sana. Kebanyakkan di Indonesia itu beralih dari batu bara langsung ke renewable. Jadi sulit diprediksi bagaimana dengan negara berkembang," jelas Malika.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, kondisi yang saat ini terjadi terkait kebutuhan energi di wilayah Eropa dapat dimanfaatkan oleh Indonesia.

"Sekarang G7 kepusingan dengan inflasi yang didorong pangan dan energi, pagi tadi mereka mencoba untuk caping energi dari Rusia," kata dia dalam Kongres Kehutanan Indonesia, Selasa (28/6).

Karenanya, kata Sri Mulyani, negara Eropa sedang berada dalam posisi dilematis lantaran enggan menerima gas dari Rusia. Di saat yang sama, negara Eropa sangat membutuhkan gas untuk menopang sumber daya wilayahnya.

"Indonesia sedang mendesain EBT, facing out coal, tapi coal itu diminta untuk diekspor ke Jerman. Karena dia sekarang buka semua PLTU-nya. Jadi kita kadang ketawa dalam hal ini," ujarnya.

Namun demikian, dia mendorong agar pemimpin dunia tidak terpaku dan dikendalikan oleh sebuah shock. Hal yang perlu dilakukan adalah terus mengimplementasikan komitmen penggunaan energi bersih dan mencari solusi bersama.

"Bukan berarti kita harus meng-cancel semua komitmen climate change kita. Justru sekarang kita bisa bermain lebih cantik dan smart di level internasional. Itu karena Indonesia punya banyak pilihan, geothermal, hydro," jelas Sri Mulyani.

"Ini butuh banyak sekali pemikiran dan regulasi supaya kita bisa balance di sisi energi," pungkasnya. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya