Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Hasil Kajian Tunjukkan Peningkatan Utang Tidak Berkontribusi Positif bagi Pertumbuhan Ekonomi

M ilham Ramadhan
25/5/2022 19:30
Hasil Kajian Tunjukkan Peningkatan Utang Tidak Berkontribusi Positif bagi Pertumbuhan Ekonomi
Pengamat ekonomi Faisal Basri menyebutkan hasil studi menyebutkan peningkatan utang tidak berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi(Antara/Hafidz Mubarak)

Pandangan mengenai peningkatan utang berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi dinilai tak selamanya berlaku.  Hal itu tercermin dari kondisi Indonesia dalam satu dekade terakhir di mana utang terus menanjak namun perekonomian tumbuh stagnan.

Demikian dikatakan ekonom senior Faisal Basri webinar bertajuk Menghadapi Krisis Utang Negara-negara Berkembang di Masa Pandemi Covid-19 dan Krisis Rusia-Ukraina: Sudut Pandang Indonesia, Rabu (25/5).

"Tidak satu pun dari 20 lebih kajian yang menunjukkan utang yang meningkat berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi. Justru sebagian besar hubungannya negatif, semakin besar utang, semakin turun pertumbuhan ekonomi, dan itu terjadi di Indonesia," ujarnya.

Faisal menyampaikan, pada 2014 nilai utang Indonesia tercatat sebesar Rp2,6 kuadriliun. Angka itu terus merangkak naik menjadi Rp4,79 kuadriliun di 2019. Kenaikan dua kali lipat nilai utang itu terjadi bahkan sebelum pandemi covid-19 merebak.

Sebagian peningkatan utang itu diakui dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dari pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah. Namun Faisal menyayangkan sebagian besar penarikan utang yang dilakukan pengambil kebijakan bukan untuk hal produktif.

Pasalnya, dalam kurun waktu 2014-2019 peningkatan belanja negara terbesar terjadi pada pembayaran bunga utang, yakni naik 108%. Lalu diikuti oleh belanja barang yang naik 89% dan belanja pegawai yang naik 54%.

Sedangkan porsi belanja modal, yang didalamnya meliputi pembangunan infrastrutkur hanya naik 21%. Dari data itu, kata Faisal, penarikan utang oleh pemerintah tak produktif dan tidak  berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.

"Jadi kita berutang sebagian besar itu untuk membayar pengeluaran rutin (bunga). Jadi kemana saja utang itu digunakan? Bukan untuk tujuan produktif," terangnya.

Dia menambahkan, beban bunga utang Indonesia tercatat 14% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang (9%) dan Singapura (0,6%).

Meski pemerintah kerap mengatakan posisi utang Indonesia masih di dalam batas aman, yakni di bawah 60% dari PDB, namun kenyataannya beban bunga yang harus ditanggung justru lebih tinggi dari negara lain.

Bahkan, lanjut Faisal, dari data Bank Dunia dan APBN, beban bunga utang Indonesia bisa mencapai 21% terhadap PDB. Jumlah itu menurutnya terlampau besar dan cukup membebani belanja negara.

"Jadi siapa bilang utang itu masih enteng? Ini sudah sangat membebani walaupun memang kita tidak akan seperti Sri Lanka. Namun pengeluaran pemerintah itu lebih banyak untuk membayar bunga, sehingga belanja lain tertekan," jelasnya.

Karena itu menurut Faisal belanja negara di dalam APBN mengalami peningkatan signifikan ketimbang pendapatan tiap tahunnya. Kenaikan belanja negara tak diikuti dengan peningkatan penerimaan yang tercermin dari menurunnya rasio pajak Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

Rasio pajak Indonesia yang berada di kisaran 8% itu menjadi yang terendah sejak 2008. Bahkan, dari 140 negara yang menyajikan data rasio pajaknya, Indonesia berada di urutan 127.

"Pemerintah boleh saja memiliki ambisi macam-macam, tapi perlu ada kerja keras dari pemerintah sehingga penerimaan pajak semakin sehat. Jadi tidak patut pemerintah itu membiarkan kondisi seperti ini," kata Faisal.

Adapun dari data Kementerian Keuangan posisi utang Indonesia per April 2022 tercatat sebesar Rp7.040,32 triliun dengan rasio utang terhadap PDB 39,09%. Posisi itu mengalami perbaikan lantaran pada Maret 2022 rasio utang Indonesia mencapai 40,39%.

Utang per April 2022 itu berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp6.228,90 triliun, atau 88,47% dari total utang. Sementara Rp811,42 triliun utang lainnya berasal dari pinjaman dalam maupun luar negeri, atau 11,53% dari total utang. (E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik