Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Pengamat: Kebijakan Pangan Pemerintah Kebanyakan Wacana dan Jargon

Despian Nurhidayat
06/3/2022 20:31
Pengamat: Kebijakan Pangan Pemerintah Kebanyakan Wacana dan Jargon
Suasana saat panen raya secara simbolik dimulai dari pajabat daerah.(MI/Dwi Apriani)

PENGAMAT Pangan Dwi Andreas Santosa mengatakan bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan pangan selalu salah dan hanya sekadar wacana dan jargon saja. Pasalnya, menurut dia saat ini yang menjadi permasalahan utama ialah disparitas harga pangan antara petani dengan pedagang.

"Jadi kebijakan pemerintah ini enggak nyambung antara wacana dan kebijakan dengan kondisi di lapangan," ungkapnya saat dihubungi oleh Media Indonesia, Minggu (6/3).

Lebih lanjut, Andreas menambahkan bahwa saat ini pemerintah seharusnya lebih banyak memproduksi komoditas yang banyak diimpor. Hal ini akan menjadi langkah jangka menengah dan panjang untuk mengatasi kenaikan harga pangan.

Dia menekankan bahwa komoditas pangan yang diproduksi di dalam negeri memiliki pola yang dapat diprediksi cara untuk mengatasinya. Hal inilah yang akan membantu pemerintah untuk mengatur kenaikan harga pangan.

"Jadi pola pangan yang sebagian besar diproduksi di Indonesia sudah ketahuan, seperti daging ayam dan telur itu harganya masih akan stabil sampai April 2022. Begitu juga beras. Nah yang enggak ketahuan (polanya) itu yang diproduksi di luar negeri. Seperti daging sapi itu kita enggak bisa tahu polanya karena kondisi global akan memengaruhi pergerakan harganya," kata Andreas.

Sementara itu, Guru Besar IPB (Institut Pertanian Bogor) Hermanto Siregar menegaskan bahwa Kementerian Perdagangan saat ini kurang antisipatif terhadap kenaikan harga pangan pokok.

"Seharusnya sekitar enam bulan sebelum terjadinya kenaikan harga-harga, (Kemendag) sudah mengambil langkah-langkah pengamanan stok dan distribusi pangan," ucap Hermanto.

Menurutnya, meningkatnya harga pokok disebabkan oleh tiga faktor. Pertama ialah tren peningkatan harga pangan pokok global. "Di pasar internasional, terjadi kenaikan harga komoditas-komoditas energi dan pangan, yang memicu kenaikan harga pangan pokok secara umum. Tren ini ditransmisikan ke hampir seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia," sambungnya.

Faktor kedua, lanjutnya, ialah faktor kebijakan pemerintah. Dia mencontohkan masalah minyak goreng, pemerintah mendorong penggunaan CPO untuk menghasilkan biodiesel B30 bahkan ke arah B40, sehingga mengganggu pasokannya sebagai bahan baku minyak goreng.

"Faktor ketiga ialah peningkatan jumlah penduduk. Setiap tahun populasi penduduk Indonesia bertambah sekitar 4 juta orang. Ini membutuhkan tambahan pangan yang tidak sedikit. Dengan kata lain, produksi bahan pangan kita juga harus ditingkatkan secara signifikan setiap tahunnya," tutur Hermanto.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menegaskan, saat ini pihaknya tengah berusaha untuk mengatasi permasalahan kenaikan harga pangan.

Dia pun memastikan beberapa produk akan tetap tersedia dan memiliki harga yang terjangkau untuk masyarakat jelang Ramadhan dan Lebaran.

"Satu persatu kita akan selesaikan. Internal kelembagaan juga kita siapkan, paralel dengan persiapan jelang Puasa dan Lebaran karena ini merupakan yang terdekat. Kita akan memastikan beberapa produk tersedia di masyarakat dengan harga terjangkau," janji Arief. (OL-13)

Baca Juga: Mengapa Nama Soeharto Hilang di Keppres 1 Maret 2022, Ini Penjelasannya



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya