Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Kesenjangan Harga Pupuk Timbulkan Potensi Penyelewengan

Fetry Wuryasti
30/1/2022 13:36
Kesenjangan Harga Pupuk Timbulkan Potensi Penyelewengan
Ketersediaan stok pupuk di gudang PT Pusri Palembang.(MI/Dwi Apriani )

Kesenjangan harga pupuk nonsubsidi dan pupuk bersubsidi mengancam produktivitas pertanian nasional. Harga bahan baku pupuk melambung tinggi akibat larangan ekspor fosfat yang diberlakukan pemerintah Tiongkok.

'Dalam situasi kenaikan harga pupuk mengikuti kenaikan harga komoditas, harga pupuk bersubsidi bisa tetap sama karena dijamin oleh HET. Hal ini menyebabkan kesenjangan harga yang semakin besar dengan pupuk nonsubsidi dan membuatnya semakin tidak kompetitif," jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, Minggu (30/1).

Seharusnya, kenaikan harga bahan baku pupuk saat ini hanya berdampak pada pupuk nonsubsidi, karena harga pupuk bersubsidi sudah diatur untuk tidak melebihi HET.

Jika ada kenaikan biaya bahan baku seperti sekarang yang berdampak pada kenaikan ongkos produksi, akan diselesaikan oleh pemerintah bersama produsen pupuk bersubsidi.

Namun demikian, kesenjangan harga yang sangat lebar antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi menyuburkan peluang untuk menyelewengkan pupuk bersubsidi ke pasar komersial.

Contohnya adalah dengan temuan-temuan terbaru penjualan oleh kios pupuk dengan harga di atas HET dan kepada penerima yang tidak terdaftar di e-RDKK.

Kenaikan harga pupuk nonsubsidi turut mengurangi pilihan input pertanian yang tepat untuk kondisi lahan spesifik yang diusahakan petani. Walaupun sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil dengan luas lahan kurang dari 2 ha, pupuk nonsubsidi terkadang digunakan sebagai alternatif jika pupuk bersubsidi tidak tersedia atau untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tertentu.

Sementara itu, perkebunan besar seperti sawit dan tebu bergantung pada pupuk nonsubsidi karena mereka tidak berhak mengakses pupuk bersubsidi. Kondisi ini bisa berakibat pengurangan produktivitas atau kenaikan harga pada komoditas-komoditas perkebunan ini.

Program pupuk bersubsidi sendiri perlu dievaluasi efektivitasnya karena belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, misalnya saja beras. Dengan porsi anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020, reformasi kebijakan pupuk nasional cukup mendesak untuk dilakukan, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap.

"Tidak efektifnya kebijakan ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara peningkatan alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman," tambah Aditya.

Penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi dan kedelai cenderung stagnan dari 2014-2019. Pada tahun 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton GKG. Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton. Angka sementara produksi padi 2021 adalah 55,27 juta ton GKG, menunjukan bahwa target ini tidak tercapai.

Aditya merekomendasikan supaya pemerintah memberikan akses lebih besar kepada pupuk nonsubdisi lewat pembayaran langsung atau direct payment, karena akan langsung masuk ke rekening penerima dan tidak memerlukan waktu distribusi panjang seperti pada bantuan barang.

Mekanisme ini juga akan meniadakan kesenjangan harga yang timbul dari penerapan  subsidi terhadap merek pupuk tertentu saja. Saldo bantuan juga harus dipastikan tidak dapat ditarik tunai tetapi bisa dibelanjakan untuk berbagai jenis input sesuai dengan kebutuhan dan dibelanjakan di mana saja jika infrastruktur pendukung seperti EDC tersedia. (OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya