Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
IMPLEMENTASI turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) menghadirkan beberapa turunan Peraturan Pemerintah (PP) di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen PPTR) membawahi beberapa PP, yaitu PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah; PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar; serta PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Pembahasan mengenai hal tersebut berlangsung dalam kegiatan Sosialisasi Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang Cipta Kerja Bidang Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang di Makassar, Sulawesi Selatan.
Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak Atas Tanah dan Ruang, Husaini yang hadir secara daring menjelaskan bahwa UUCK sebagai latar belakang terbitnya PP Nomor 18 Tahun 2021 bertujuan untuk pertumbuhan, pemerataan, ketahanan, dan daya saing yang baik.
Menurutnya, beberapa ketentuan pokok diatur dalam PP tersebut, antara lain Penguatan Hak Pengelolaan (HPL); Hak Atas Tanah; Satuan Rumah Susun; HPL/HAT pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah; Percepatan Pendaftaran Tanah dan Penertiban Administrasi Pertanahan; dan Penggunaan Dokumen Elektronik.
Pada kesempatan ini, Husaini membahas seputar pengaturan Hak Atas Tanah (HAT). Ia menjelaskan, dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 terdapat penyesuaian siklus jangka waktu HAT yang terdiri dari tiga siklus, yakni iklus Pemberian, Siklus Perpanjangan, dan Siklus Pembaruan.
Dalam peraturan terbaru ini, masing-masing HAT mempunyai masing-masing jangka waktu yang diatur berapa lama pembaruannya.
“Dulu, perpanjangan biasanya dilakukan 2 tahun, sekarang tidak begitu. Lalu, yang dinamakan pembaruan itu didefinisikan sebagai perpanjangan kedua setelah perpanjangan pertama. Bisa juga disebut pembaruan jika tidak mengajukan perpanjangan,” terangnya.
Masih dalam konteks pengendalian Hak Atas Tanah, Direktur Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu, Asnawati memberi penjelasan terkait Rancangan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN (Rapermen) tentang Pengendalian dan Penertiban Pertanahan.
Baca juga : UKM Binaan ECP Kemendag Sukses Perluas Pasar Ekspor Furniture ke UEA
Asnawati menjelaskan, Rapermen terbagi dalam tiga substansi, meliputi pengendalian hak atas tanah dan PPAT, pengendalian alih fungsi lahan dan pengendalian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, wilayah perbatasan, dan wilayah terpencil.
“Sebagian sudah di tahap harmonisasi, beberapa belum. Kita di sini ingin memberi pemahaman meski belum disahkan,” ungkapnya.
Asnawati memaparkan, banyak isu terkait penggunaan HAT yang penggunaannya tidak sesuai peruntukannya, atau penguasaannya bukan oleh yang berhak. Oleh sebab itu, berdasarkan pasal 16 PP Nomor 18 Tahun 2021, tertulis bahwa Menteri secara berkala melakukan pengawasan dan pengendalian secara berjenjang melalui Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan.
“Adanya dasar hukum ini bertujuan untuk pencegahan terhadap pelanggaran pemegang hak atas tanah sebagai upaya pengendalian,” tuturnya.
Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang, Andi Renald menjelaskan, PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam perspektif pengendalian dan penertiban. Andi mengatakan, posisi pengendalian dan penertiban berada ketika proses perencanaan rencana tata ruang dan pemanfaatan ruang selesai.
“Jadi ketika sudah mengeluarkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), baru kita melakukan penilaian. Patuh atau tidak? Jika tidak, bagaimana sanksinya?” terangnya.
Dalam melakukan pengendalian dan penertiban rencana tata ruang di lapangan, Andi menjelaskan, pihaknya melakukan dua proses. Pertama, proses pencegahan. Langkah pencegahan dilihat dari bagaimana aspek pemanfaatan itu sesuai dengan pola dan struktur ruang. Kedua, proses kuratif atau proses penertiban dan penindakan melalui kegiatan penertiban untuk mengembalikan fungsi ruang.
“Jika sudah telanjur maka dilakukan proses kuratif. Apakah itu fungsi lindung atau fungsi budidaya akibat dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pemanfaatan ruang,” jelasnya.
Turut hadir dalam acara ini, Muhamad Asdhar selaku Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kementerian ATR/BPN Muhamad Asdhar dan perwakila Kantor Wilayah BPN Sulawesi Selatan Bambang Priono. (RO/OL-7)
PENAIKAN rerata Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang ditetapkan pemerintah sebesar 6,5% tak akan berdampak banyak pada peningkatan kesejahteraan buruh atau masyarakat
Pihaknya bakal mematuhi hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 168/PUU-XX1/2023 yang memerintahkan agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari Undang-Undang Cipta Kerja
Kenaikan upah pada 2025 diyakini akan menentukan perekonomian di tahun depan.
Terdapat beberapa hal yang dibicarakan dari dialog tersebut, di antaranya terkait tidak adanya kewajiban untuk menetapkan kenaikan upah minimum 2025 pada 21 November 2024
Aturan mengenai upah minimum pekerja belum dapat dipastikan kapan akan terbit. Itu karena formulasi penghitungan upah masih dalam pembahasan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Putih Sari menyambut baik sikap pemerintah yang responsif terhadap putusan MK soal UU Cipta Kerja
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved