Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Kenaikan Ekspor Jangan Disikapi Berlebihan

M. Ilham Ramadhan Avisena
16/9/2021 18:28
Kenaikan Ekspor Jangan Disikapi Berlebihan
Aktivitas bongkar muat peri kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta(Antara/M. Risyal Hidayat)

PEMERINTAH Indonesia diminta tak terlalu berlebihan menyikapi kenaikan ekspor yang terjadi pada Agustus 2021. Justru pengambil kebijakan mesti waspada dan berhati-hati atas capaian tersebut karena peningkatan ekspor sebagian besar bersumber dari komoditas. 

Pasalnya kejadian serupa pernah terjadi pada periode 2000-2012 di mana ekspor komoditas Indonesia melejit. Hal itu menyebabkan investor berbondong-bondong berlari ke sektor komoditas dan meninggalkan sektor pengolahan atau manufaktur. 

"Makanya banyak yang menyebutkan masalah deindustrialisasi pada tahun 2000-an di Indonesia. itu karena ekspor komoditas meningkat pesat. Kita tentu tidak ingin seperti itu lagi," ujar Kepala Ekonom dari Centre for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri kepada Media Indonesia, Kamis (16/9). 

Dia menjelaskan kenaikan ekspor Indonesia pada Agustus terjadi didorong oleh komoditas kelapa sawit. Kenaikan ekspor kelapa sawit itu berkisar 70% diikuti besi dan baja dan mendominasi kinerja ekspor nasional. 

Indonesia diharapkan tak lagi mengalami penyakit ekonomi Belanda (Dutch Disease), di mana mengandalkan hasil sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di periode 2000-2012. Sebab, dalam jangka panjang itu justru akan memberi dampak negatif bagi perekonomian. 

"Jadi, yang namanya commodity boom itu buat Indonesia sering tidak terlalu baik hasilnya, terutama dalam jangka panjang. Kalau ini terus berlangsung, insentif kita untuk membangun sektor-sektor yang lainnya akan berkurang dan menyebabkan perekonomian Indonesia dalam jangka panjang tidak akan berkembang dengan sepenuhnya, seperti yang diinginkan," jelas Yose. 

"Kita kan maunya masuk ke bidang pengolahan yang berteknologi tinggi, dengan human capital yang baik. Tapi kalau investasi pergi ke komoditas semua, ini yang bahaya," sambungnya. 

Baca juga : Harga Timah Naik Terus, Transaksi Fisik Timah di Bursa Berjangka Capai Rp538 M

Selain itu, peningkatan ekspor yang disokong oleh komoditas kelapa sawit tersebut nyatanya diakibatkan oleh kenaikan harga di pasar internasional, bukan dari sisi volumenya. Hal ini yang membuat kinerja ekspor Indonesia menjadi rentan. 

Harga komoditas sejatinya selalu berfluktuasi dan dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi. Alih-alih bertahan, harga komoditas dapat terjun bebas sewaktu-waktu dan itu akan menyebabkan kinerja ekspor jatuh bila Indonesia terus mengandalkan komoditas. 

"Ini belum tentu sustainable. Kalau The Fed jadi melakukan tappering. Itu harga komoditas akan anjlok semua. Apalagi kalau tapperingnya mengagetkan, akan ada shock di market dan itu berimbas pada harga komoditas di commodity market. Jadi kita harus hati-hati. Kalau pun ini sustainable, secara jangka panjang ini juga tidak bagus karena ada Dutch Disease tadi," terang Yose. 

Daripada tenggelam dalam euforia kenaikan ekspor, lanjut Yose, pemerintah Indonesia didorong menggali potensi industri pengolahan untuk bermain dan berperan lebih dalam perdagangan internasional.

Diketahui sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor Indonesia pada Agustus 2021 mencapai US$21,42 miliar, naik 20,95% dari Juli (month to month/mtm) dan tumbuh 64,10% dari Agustus 2020 (year on year/yoy). Sedangkan kinerja impor Indonesia pada Agustus 2021 tercatat US$16,68 miliar, naik 10,35% (mtm) dan tumbuh 55,26% (yoy). 

Alhasil, neraca dagang Indonesia kembali mengalami surplus sebesar US$4,74 miliar. Itu memperpanjang tren surplus neraca dagang Indonesia menjadi 16 bulan berturut-turut. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya