Headline

Penyelenggara negara tak takut lagi penegakan hukum. Kisruh royalti dinilai benturkan penyanyi dan pencipta lagu yang sebenarnya saling membutuhkan.

Industri Kriya Nasional harus Perkuat Mentalitas

Naufal Zuhdi
23/8/2025 10:20
Industri Kriya Nasional harus Perkuat Mentalitas
Ilustrasi(Antara)

Indonesia dikenal sebagai negeri dengan warisan kriya yang kaya mulai dari Jepara, Cirebon, Bali, dan banyak daerah lain telah menorehkan nama di peta industri mebel dan kerajinan dunia. Nilai ekspor kriya Indonesia pada 2024 menembus US$3,5 miliar, namun masih jauh dibanding Vietnam yang melesat di atas US$17 miliar. Namun sayangnya, dengan dukungan sumber daya, budaya, dan pasar yang besar, industri kriya Indonesia saat ini masih tertinggal.

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur mengatakan bahwa regulasi, biaya logistik, dan tarif yang tinggi memang hambatan nyata, namun ia menilai bahwa hal yang lebih mendasar adalah mentalitas internal industri tersebut.

"Pertama, budaya meniru, bukan mencipta. Terlalu banyak produsen yang hanya menyalin katalog buyer atau meniru sesama pengusaha. Akibatnya, produk kita tidak punya identitas, dan buyer luar negeri hanya melihat Indonesia sebagai 'pabrik murah' bukan pusat kreativitas," ucap Abdul dikutip dari siaran pers yang diterima, Sabtu (23/8).

Kedua, sambung dia, adalah perang harga yang merusak. Abdul menilai bahwa industri dalam negeri sendirilah yang membuka ruang bagi buyer untuk menekan harga untuj saling menjatuhkan dengan membanting harga. Hal itu, tentu membuat industri hanya hidup dari margin tipis, pekerja tetap bergaji rendah, dan investasi jangka panjang diabaikan.

"Ketiga, terjebak kuantitas, bukan kualitas. Ukuran sukses masih sebatas berapa kontainer keluar dari pelabuhan, bukan berapa besar nilai tambah yang diciptakan," terang dia.

Dirinya menegaskan bahwa selama industri kriya dalam negeri masih sibuk meniru, menjiplak, dan saling menjatuhkan harga, industri ini akan terus menjadi buruh produksi global.

"Kita hanya ekspor kayu berbentuk kursi bukan ekspor kebudayaan dalam bentuk desain dan gaya hidup," tuturnya.

Berikutnya, adanya faktor eksternal yang membebani industri, yaitu pemberlakuan EUDR pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar, dan 30 Juni 2026 untuk perusahaan kecil. Abdul menilai bahwa hal ini akan membuat seluruh produk harus memenuhi persyaratan bahwa bahan bakunya tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau degradasi hutan setelah 31 Desember 2020.

Oleh karena itu, HIMKI menegaskan bahwa jalan ke depan harus dibangun di atas mentalitas baru. Pertama, orisinalitas dan inovasi harus menjadi kebanggaan, bukan sekadar pesanan buyer. Kedua, etika dagang sehat harus ditegakkan dengan menghentikan banting harga dan memulai kompetisi bermartabat. Ketiga, nilai tambah harus menjadi fokus dari menjual kontainer, menuju menjual brand dan gaya hidup. Keempat, kolaborasi ekosistem harus diwujudkan: pengusaha, desainer, pemerintah, dan akademisi harus bergerak bersama.

Indonesia, lanjut dia, tidak boleh puas menjadi sekadar alternatif murah bagi buyer yang kecewa dengan Vietnam atau Tiongkok. Indonesia, harus tampil sebagai pusat kreativitas dunia, dengan mebel dan kerajinan yang tidak hanya kuat secara produksi, tetapi juga bermakna, bernilai, dan dihargai.

"Jika tidak berani berubah, kita akan terus berada di urutan ke-11 ekspor provinsi, dengan kontribusi mebel-kerajinan yang hanya US$800 juta dari total ekspor Jawa Tengah. Tapi jika berani bertransformasi, Indonesia bisa melompat menjadi pemimpin industri kreatif dunia, setara dengan Italia, Denmark, atau bahkan melampaui Vietnam," pungkasnya. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya