Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Aturan Wajib Pembelian Listrik EBT Dinilai Bebankan Negara

Mediaindonesia.com
15/8/2021 15:35
Aturan Wajib Pembelian Listrik EBT Dinilai Bebankan Negara
Pekerja membersihkan panel PLTS di Desa Sengkol, Lombok Tengah, NTB.(Antara)

PEMERINTAH perlu memastikan wacana kewajiban pembelian listrik dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT) oleh badan usaha milik negara (BUMN) tidak menambah beban fiskal negara. 

Hal tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) terkait EBT. Pemerintah dan DPR RI diminta mempertimbangkan poin kewajiban pembelian listrik dari EBT dalam pembahasan rancangan aturan tersebut.

Berdasarkan rumusan RUU EBT terkini, masih terdapat poin kewajiban bagi BUMN untuk membeli listrik dari pembangkit EBT. Tak pelak, hal ini membebani PT PLN (Persero), keuangan negara, hingga masyarakat. 

Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris meminta keseriusan pemerintah untuk membahas RUU EBT. Sesuai peta jalan, rancangan beleid ini dapat disahkan pada akhir Desember 2021. Namun, ada beberapa poin dalam RUU EBT yang masih memerlukan saran dari publik. 

Baca juga: Bauran Energi Terbarukan Ditargetkan Tercapai 23% pada 2025

"Ini yang kami ingin mendengar komentarnya. Ada tambahan di Pasal 40, disebutkan terdapat kewajiban BUMN terhadap pembelian listrik EBT. Kalau ada kewajiban, biasanya ada sanksi yang mengikuti," ujar Andi dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.

Pada poin berikutnya, dijelaskan bahwa pemerintah pusat dapat menugaskan badan usaha milik swasta di sektor kelistrikan untuk memberikan tenaga listrik yang dihasilkan. Lalu, dalam ayat kedua, terkandung kata "dapat" yang bisa dimaknai berbeda. 

"Jadi berbeda, kalau BUMN harus membeli," imbuh Andi.

Akan tetapi, dia menilai kewajiban membeli listrik EBT berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan listrik. Serta, membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN. Mengingat, harga beli listrik EBT lebih mahal dari rata-rata BPP perseroan.

Menurut Andi, terdapat risiko kinerja keuangan PLN bakal jeblok, karena membeli listrik dengan harga yang lebih tinggi. "Soal subsidi harga, kita tahu untuk harga EBT belum dapat bersaing dengan harga energi lainnya," pungkasnya.

Baca juga: Bahlil: RI Harus Jadi Negara Penghasil Baterai Mobil Listrik Terbesar Dunia

Pengamat ekonomi energi dari ITS, Mukhtasor, berpendapat politik keekonomian yang tepat bagi Indonesia ialah pembangunan dari atas ke bawah. Menurut dia, adanya kewajiban bagi BUMN membeli listrik dari pembangkit EBT, menimbulkan dua dampak.

Rinciannya, risiko kelebihan pasokan listrik dan risiko kenaikan biaya pokok produksi listrik. Adapun persoalan lain ialah pada Pasal 51 RUU EBT, terkait kewajiban pemerintah membayar selisih pembelian dari pembangkit EBT dalam bentuk kompensasi. 

"APBN akan mendapatkan tekanan tambahan. Kalau APBN dalam kondisi kaya raya, mungkin kita optimistis. Tetapi, APBN sekarang kan sedang terbeban untuk membiayai penanganan covid-19," tutur Mukhtasor.

Jika anggaran negara terbatas, ada risiko pemerintah tidak dapat membayar kompensasi. Hal itu berdampak langsung pada potensi kenaikan harga listrik, yang ujung-ujungnya membebani masyarakat.(RO/OL-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya