Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Money Mule, Tren Fraud dalam Sistem Pembayaran Digital RI

Despian Nurhidayat
04/2/2021 19:59
Money Mule, Tren Fraud dalam Sistem Pembayaran Digital RI
Ilustrasi konsumen melakukan pembayaran dengan aplikasi uang elektronik.(Antara/Novrian Arbi)

TERDAPAT tiga tren tindakan fraud yang terjadi dalam sistem pembayaran digital di Indonesia sepanjang 2020. Persoalan itu kemungkinan besar terulang kembali pada tahun ini.

Demikian pandangan perusahaan teknologi global GBG APAC. Adapun tiga tren yang dimaksud ialah money mule, synthetic ID dan stolen ID. 

"Sebanyak 68% fraud terjadi pada kejadian money mule," ungkap Managing Director GBG APAC Dev Dhiman dalam diskusi virtual, Kamis (4/2).

Adapun money mule merupakan kejahatan dengan mentransfer sejumlah uang dalam jumlah kecil ke sejumlah penerima, yang akan mendapatkan komisi jika mentransfer kembali ke penerima lain.

Baca juga: Potensi Ekonomi Digital RI Besar, Menkeu: Harus Dimanfaatkan

Sementara itu, synthetic ID ialah pembuatan identitas palsu untuk akun pada sistem pembayaran digital. Identitas tersebut tidak benar-benar ada, atau hanya buatan dengan cara menggabungkan kredensial palsu.

Untuk stolen ID, jelas Dhiman, merupakan hal yang sering terjadi di Indonesia. Fraudster atau pelaku kejahat siber mencuri akun seseorang dengan cara mengetahui password atau pin pengguna.

"Untuk menghindari ini semua, masyarakat harus aware dan memitigasi risiko fraud terhadap akun yang mereka miliki," pungkas Dev.

Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Imansyah menyebut saat ini terdapat 15 juta kasus penyalahgunaan data dari pihak yang tidak bertanggung jawab di servis finansial dan non-finansial.

Baca juga: Pasar Pesimistis dengan Penanganan Covid-19, Rupiah Melemah

"Harus ada edukasi dan sosialisasi, agar literasi masyarakat akan digital lebih baik. Bisa memitigasi risiko fraud ke depannya. Jadi fraud ini tidak cuma konvensional, tapi sudah menyebar ke digitalisasi," tutur Imansyah.

OJK juga telah menemukan beberapa solusi untuk memitigasi fraud. Pertama, lewat regulatory technology (RegTech) dan supervisory technology (SupTech) yang diharapkan menjadi solusi pengawasan industri fintech.

Selain itu, OJK juga melakukan pengawasan pada transaksi AML (Anti Money Laundering). Hal ini dengan penggunaan sistem teknologi untuk menganalisis, memprediksi dan mengidentifikasi transaksi yang mencurigakan. Serta, mengurangi risiko kesalahan hingga lebih dari 50%.

Terakhir, OJK menggencarkan trading & market surveillans, dengan menggunakan sistem teknologi dan data analisis. Tujuannya untuk mendeteksi aktivitas fraud atau pola trading manipulatif dan insider trading.(OL-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya