Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Menembus Penolakan terhadap Sawit

Andhika Prasetyo
12/7/2020 03:45
Menembus Penolakan terhadap Sawit
Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Muara Sabak Barat, Tajungjabung Timur, Jambi, Jumat (10/7/2020).(ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

PENOLAKAN Eropa terhadap kelapa sawit dan produk turunannya belum mengendur. Bahkan, di Swiss, sekelompok pegiat mengajukan usulan referendum penolakan kelapa sawit Indonesia ke Mahkamah Konstitusi di negeri itu, Bundeskanzlei, akhir Juni lalu.

Kerja keras untuk mengubah opini negatif itu terus dilakukan pemerintah Indonesia, salah satunya oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Swiss, Muliaman Hadad.

“Kami terus melakukan pendekatan ke berbagai pemangku kepentingan. Tujuannya untuk memberikan pemahaman, dilengkapi data dan fakta terkait sawit,” ujar mantan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan itu, kemarin.

Ia menambahkan, dalam waktu dekat, KBRI bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Swiss akan menggelar pertemuan bisnis. Seluruh pengusaha di negeri itu akan diundang untuk membicarakan persoalan sawit.

“Kami akan membahas kelanjutan Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IECEPA).”

Terkait dengan referendum, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu mengungkapkan hal tersebut muncul karena ada kelompok yang tidak setuju dengan IE-CEPA.

Mereka menolak komoditas minyak sawit masuk draf pembicaraan. “Sebelum meratifi kasi suatu perjanjian dengan negara lain, pemerintah Swiss memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat atas perjanjian tersebut.

Dalam hal IE-CEPA, ada kelompok masyarakat yang mengusulkan referendum. Kita harus menghormati proses politik di Swiss dan tidak bisa mencampurinya,” jelas Muliaman.

Menurut dia, sejatinya, pemerintah, parlemen, dan mayo ritas masyarakat Swiss sudah mendukung dan memahami bahwa sawit dari Indonesia ialah sawit yang berkelanjutan. “Skema keberlanjutannya akan didiskusikan dan disetujui bersama antara Indonesia dan Swiss.”

Tim KBRI, lanjutnya, akan terus memberikan pemahaman kepada pemerintah Swiss bahwa keberadaan sawit di Indonesia tidak menimbulkan masalah.

Bahkan, dengan produktivitas yang tinggi, sawit mampu menghasilkan minyak nabati yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan komoditas minyak nabati lain.

“Indonesia juga taat dalam mengikuti berbagai aturan internasional untuk mengurangi laju deforestasi global, antara lain dengan memberlakukan moratorium sawit dan kewajiban penerapan Indonesian sustainable palm oil (ISPO),” tandasnya.


Harga naik

Kendati ada penolakan, permintaan produk sawit dunia ternyata justru menerbitkan asa. Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan, kasan, menyatakan permintaan minyak sawit mentah naik sehingga mengatrol harganya dari US$569 per metrik ton pada Juni menjadi US$662 selama Juli.

“Setelah dilanda pandemi, negara tujuan ekspor, yakni Tiongkok sudah mulai pemulihan. Harga pada Juli untuk referensi pungutan sawit perlahan naik,” jelasnya.

Ia yakin permintaan juga akan naik seiring dengan memulihnya beberapa negara tujuan ekspor sawit dari Indonesia, yakni India, Pakistan, dan Bangladesh. Saat ini, negara penyerap sawit asal Indonesia yang paling besar ialah India, Tiongkok, Pakistan, Bangladesh, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Peluang pasar baru ialah Timur Tengah dan Afrika.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Mukti Sardjono, mencatat konsumsi minyak sawit dalam negeri masih positif di tengah pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar. *“Konsumsi biodiesel dan oleokimia mengalami peningkatan,” tandasnya. (Ant/N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya