Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Pak Jokowi, Ini Ada 4 Pasal Krusial di Omnibus Law Cipta Kerja

Despian Nurhidayat
17/2/2020 07:05
Pak Jokowi, Ini Ada 4 Pasal Krusial di  Omnibus Law Cipta Kerja
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani (tengah) para Menteri Kabinet Kerja saat menerima RUU Cipta Kerja.(MI/Susanto )


Pemerintah menginginkan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law bisa berlangsung dengan cepat.

Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi sinyal agar pembahasannya dapat tuntas dalam 100 hari. Jokowi siap mengacungkan dua jempol kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun bila melihat banyaknya pro kontra yang menyertai pembahasan RUU ini, target 100 hari sulit tercapai. Belum lagi ada sejumlah pasal yang ditolak kaum buruh dan juga pengusaha.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki 4 pasal krusial bila melihat dari substansi ketenagakerjaan.

"Pertama saya lihat Pasal 88D terkait kenaikan upah minimum berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi daerah berbahaya bagi daya beli masyarakat. Kalau daerah pertumbuhan ekonominya negatif seperti kita lihat di Papua  2019 lalu, maka tahun depan upahnya justru minus. Ekonomi daerah bukan makin membaik tapi justru memburuk karena konsumsi rumah tangga turun," ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (16/2).

Lebih lanjut, Bima menambahkan bahwa Pasal 88E terkait upah minimum padat karya yang diatur terpisah, juga dikatakan sangat mengkawatirkan. Hal ini dikarenakan dapat memicu terjadinya rezim upah murah yang merugikan pekerja khususnya di sektor tekstil pakaian jadi dan alas kaki.

"Selain itu, Pasal 42 ayat 3 soal kemudahan tenaga kerja asing (TKA) untuk perusahaan startup. Ini kan aneh. Startup katanya mau berdayakan talent lokal. Faktanya justru mau undang TKA," lanjutnya.

Terakhir, Bima mengatakan bahwa ada pasal yang dihapus yakni Pasal 66 dalam UU Ketenagakerjaan Tahun 2003. Hal ini berkaitan dengan membuat batasan outsourcing atau perusahaan alih daya yang saat ini berubah menjadi tidak adanya pengaturan.

"Berarti pekerjaan yang core atau inti produksi pun bisa dialihdayakan. Ini bisa ciptakan job insecurity," pungkas Bima.

 Bima juga menekankan sedari aspek pembuatan draft dirasa seakan dirahasiakan dan menabrak aturan terkait transparansi. Padahal isi Omnibus Law akan berdampak luas ke seluruh lapisan masyarakat baik buruh maupun pelaku usaha umkm.

"Saya cuma khawatir pembahasan ke depan akan menimbulkan diskusi yang kontraproduktif. Ini bisa dikatakan RUU terburuk sepanjang sejarah. Pelaku usaha justru menjadi kebingungan karena adanya perubahan peraturan yang berdampak pada rencana jangka panjang," tutupnya. (Des/E-)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik