Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Rencana Balasan Atas Diskriminasi Eropa Tuai Dukungan

Andhika Prasetyo
28/4/2019 17:07
Rencana Balasan Atas Diskriminasi Eropa Tuai Dukungan
Dua unit truk mengangkut buah kelapa sawit di kawasan perkebunan sawit PTPN VI, Sumatra Barat, Sabtu (1/12/2018).(Antara)

LANGKAH Indonesia dan beberapa negara ASEAN yang menyerukan tindakan balasan atau retaliasi atas diskriminasi perdagangan oleh Uni Eropa dipandang sebagai langkah positif.

Langkah tersebut dinilai tepat untuk melindungi kepentingan ekonomi Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara.

Demikian diungkapkan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto di Jakarta, Minggu (28/4).

Ia tidak memungkiri retaliasi perdagangan akan menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak. Namun, tanpa perlawanan, dikhawatirkan diskriminasi oleh Uni Eropa semakin kuat.

“Jadi harus ada upaya untuk membalas. Kalau kita diam, nanti semakin menjadi-jadi,” ujar Eko.

Ia juga mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati untuk dapat menyusun strategi yang tepat.

"Jika kita akan membatasi impor dari Eropa, kita harus memilih produk yang tepat sehingga perlawanan tersebut bisa memberikan sinyal yang kuat," tuturnya.

Menurut Eko, komoditas yang berpotensi dibatasi tidak harus yang berbau berteknologi tinggi. Produk ringan berupa makanan minuman bisa menjadi target sasaran.

Selain itu, perlu juga diperhatikan tingkat kebutuhan akan produk tersebut di tanah air. Tanpa adanya pertimbangan yang matang, pembatasan impor suatu produk bisa mendorong maraknya penyelundupan.

Di samping melakukan retaliasi, pemerintah juga perlu menerapkan strategi perlawanan lunak yakni, dengan memperbanyak kajian dan riset sebagai dasar argumentasi dalam membela industri minyak sawit.

"Karena hal itu juga Uni Eropa lakukan dalam mendiskriminasi sawit. Berbagai kajian dan riset akademik dilakukan sebagai dasar penolakan terhadap sawit dan produk turunannya, termasuk kajian soal dampak industri sawit pada lingkungan," ucapnya.

Dengan adanya riset dan kajian yang cukup, akan tercipta ruang untuk adu pendapat tentang pendapat mana yang lebih tepat. Hal tersebut dinilai membuka peluang masyarakat negara maju yang rasional untuk menerima minyak sawit.

Direktur Eksekutif Apindo Danang Girindrawardana juga mengapresiasi kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan yang bersikap berani untuk meretaliasi.

"Ini adalah langkah proteksi. Kita bisa gertak balik mereka. Toh dengan produk-produk yang diretaliasi itu Indonesia masih memiliki negara lain yang lebih bersahabat untuk mendapatkan penggantinya,” tegas Danang.

Dari kalangan pengusaha, ia menjelaskan, kebijakan pemerintah melakukan retaliasi terhadap produk minuman beralkohol dari Eropa disambut hangat. Pasalnya pencekalan terhadap sawit sudah cukup mengganggu.

“Pengusaha senang dengan keputusan ini. Kami yakin itu akan baik untuk keseluruhan ekonomi Indonesia,” katanya.

Tidak sekadar minuman alkohol, Danang menyarankan pemerintah untuk lebih gencar melakukan retaliasi terhadap berbagai produk lainnya dari Eropa yang selama ini kerap membanjiri Indonesia.

“Banyak yang bisa kita banned. Produk-produk toiletries mereka. Diary milk mereka. Banyak jenisnya,” saran Danang.

Baca juga: Diskriminasi Sawit, JK : Kita Juga Bisa Diskriminasi Produk Eropa

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita telah menyerukan aksi retalisasi atas kebijakan proteksionisme Uni Eropa yang dipandang diskriminatif terhadap beberapa produk asal Asia Tenggara seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang merupakan komoditas asal Indonesia dan Malaysia serta beras asal Myanmar dan Kamboja.

Kebijakan-kebijakan tersebut, terutama yang berkaitan dengan sawit, dipandang sebagai bentuk upaya untuk melindungi produk minyak nabati yang dihasilkan di Benua Biru. Pasalnya, minyak nabati yang dihasilkan kawasan Eropa tak mampu bersaing dengan CPO yang memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi, sehingga lebih murah dan efisien.

“Karena kan kita tahu ujungnya itu. Secara kasat mata pun produktivitas CPO kita lebih tinggi dari bunga matahari, rapeseed atau kedelai dan lain-lain dari mereka,” tandasnya. (X-15)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Henri Siagian
Berita Lainnya