Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

MLA Dengan Swiss Perkuat Penegakan Hukum Kasus Pencucian Uang

Fetry Wuryasti
05/2/2019 20:17
MLA Dengan Swiss Perkuat Penegakan Hukum Kasus Pencucian Uang
(MI/Susanto)

INDONESIA baru saja melakukan penandatanganan MLA (Mutual Legal Asisstance) dengan Swiss. Pengamat perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis ( CITA) Yustinus Prastowo memandang penandatanganan MLA ini sebagai sebuah langkah maju yang akan bermanfaat bagi kedua negara,

Bagi Indonesia, MLA tersebut berguna dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena kendala keterbatasan akses dan daya jangkau.

"MLA ini akan memungkinkan bantuan pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss," ujar Yustinus dalam siaran persnya, Selasa (5/2).

Menurut penelitian Gabriel Zucman (2017), jumlah asset global di offshore/tax havens mencapai 10% PDB global atau US$5,6 triliun (Rp80 ribu triliun) dan sebesar US$ 2,3 triliun (Rp 32 ribu triliun) disimpan di Swiss.

Secara tradisional Swiss merupakan negara suaka pajak (tax haven) tertua dan paling diminati.

Sejak tahun 1924, ketika Perang Dunia memaksa negara-negara menaikkan tarif pajak, tiga kota di Swiss yakni Geneva, Basel, dan Zurich menjadi tujuan penyimpanan dana asing.

Namun sejak 2005, daya tarik Swiss sebagai tax haven terus menurun dari 45% porsi global hingga tinggal 28% di tahun 2015.

Baca juga : Indonesia Tandatangani Perjanjian MLA dengan Swiss

Hal ini terjadi karena terungkapnya beberapa skandal penggelapan pajak yang melibatkan perbankan Swiss. Disamping itu pemerintah Swiss juga berinisiatif untuk melonggarkan kerahasiaan dan bekerja sama dengan negara lain.

"Lokus tax haven kemudian bergeser ke negara-negara di Eropa, Asia, dan Amerika," ujar Yustinus

Indonesia sendiri telah melaksanakan program pengampunan pajak pada 2016-2017, dengan tujuan antara lain merepatriasi harta di luar negeri.

Tax amnesty tersebut menghasilkan deklarasi harta kurang lebih Rp4.800 triliun, Rp3.800 triliun adalah deklarasi dalam negeri dan Rp1.000 triliun deklarasi luar negeri, dan Rp 145 trilun repatriasi.

Menurut Tax Justice Network, setidaknya terdapat sekitar US$331 miliar (Rp 4600 triliun).

Dengan demikian masih terdapat harta senilai sekitar Rp3.500 triliun yang belum diikutsertakan dalam pengampunan pajak. Tentu saja hal ini membutuhkan pendalaman.

Salah satu hal yang perlu didalami adalah tidak masuknya Swiss dalam 5 besar negara asal harta deklarasi dalam program pengampunan pajak, yaitu Singapura, Virgin Islands, Hongkong, Cayman Islands, dan Australia.

"Apakah orang Indonesia yang menempatkan dananya di Swiss telah ikut migrasi sejak 2005, atau punya kepercayaan diri hartanya tidak akan tersentuh sehingga tidak perlu ikut pengampunan pajak," tukas Yustinus.

Di sisi lain, Indonesia telah mengikuti inisiatif global Automatic Exchange of Information (AEOI), yang akan membuka akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan telah diikuti tidak kurang dari 106 negara.

Indonesia juga telah menerbitkan UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang memungkinkan pertukaran informasi domestik dan antarnegara dapat dilaksanakan.

Berdasarkan informasi dan konteks tersebut, Pemerintah Indonesia mempunyai alasan yang kuat menandatangani MLA ini dan segera menerapkannya.

Meski demikian, Yustinus menegaskan perlunya dilakukan pengujian yang mendalam dan menyeluruh agar diperoleh hasil analisis yang akurat dan dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum.

Tindak pidana perpajakan merupakan pintu masuk yang paling mungkin dilakukan, karena itu, lanjut Yustinus, koordinasi dan sinergi kelembagaan mutlak dibutuhkan, maka pembentukan gugus tugas antara KPK, Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak perlu segera dibentuk.

"Tindak lanjut untuk menuntaskan berbagai dugaan tindak pidana, baik korupsi, pencucian uang, maupun perpajakan amat penting untuk memenuhi rasa keadilan publik, termasuk rasa keadilan bagi mereka yang selama ini memilih menjadi warga negara patuh hukum, wajib pajak yang taat, dan mereka telah ikut pengampunan pajak. Karenanya, MLA adalah tonggak dan instrumen penting," tuturnya.

Melampaui silang sengkarut politik dan pemanfaatan MLA sekadar sebagai  propaganda politik tanpa substansi, seyogianya keberhasilan penandatanganan MLA ini dijadikan dasar penegakan hukum dan pembangunan tata kelola negara yang transparan dan akuntabel. Untuk itu seluruh pihak sudah sepantasnya memberikan dukungan.

"Batu uji berikutnya adalah keberanian untuk melakukan investigasi, termasuk kemungkinan menyentuh elite dan oligarki yang  kuat kuasa, yang kemungkinan pernah menikmati kekebalan hukum dan keuntungan luar biasa dari eksistensi suaka pajak dan lemahnya sistem hukum Indonesia," tukas Yustinus Prastowo. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya