Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Fondasi Deep Learning

Ono Sarwono
24/11/2024 05:05
Fondasi Deep Learning
Ono Sarwono Penyuka Wayang(MI/Ebet)

ISUNYA Kurikulum Merdeka yang dicanangkan Kemendikbud pada 2022 akan diganti dengan model deep learning. Konon, itu metode meningkatkan pemahaman siswa lewat pendekatan mendalam dan fokus pada keterlibatan aktif peserta didik.

Perubahan atau pergantian kurikulum itu hal biasa. Setiap pemimpin memiliki visi sendiri untuk menciptakan anak didik terbaik demi terwujudnya generasi bangsa yang tanggap dan mampu menghadapi tantangan dan perkembangan zaman.

Namun, satu hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam setiap pergantian kurikulum ialah pendidikan karakter atau kepribadian. Itu merupakan fondasi yang menentukan tegak atau robohnya bangunan insan, baik sebagai individu maupun bangsa (negara).

Mengingat begitu pentingnya karakter, itulah kurikulum pokok yang ditanamkan oleh ‘tiga lembaga perguruan’ kepada Pandawa. Pada akhirnya, lima putra Pandu-Kunti/Madrim itu menjadi para kesatria pepunjuling jagat terkemuda di dunia.

 

Wahana belajar

Ketika menempuh pendidikan dasar dan menengah, Pandawa belajar di Padepokan Sokalima. Mereka mendapatkan pelajaran tata krama dan kapribaden (kepribadian) dari dwija (guru) Begawan Durna. Kurikulum itu guna membentuk jiwa kesatria.

Durna menjangkarkan dalam-dalam pendidikan kepribadian karena setiap kesatria harus rendah hati, sopan, jujur dan membela kebenaran, mampu membedakan antara keutamaan dan kenistaan, serta berani memperjuangkan tegaknya keadilan.

Penekanan pada pendidikan karakter tersebut merupakan perintah pepunden Astina Resi Bhisma. Putra mendiang raja Astina Prabu Sentanu itu berharap Pandawa sebagai generasi penerus pemimpin mampu menjaga martabat bangsa dan negara.

Kala itu Pandawa--Puntadewa, Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten--tinggal di Istana Astina. Mereka masih belia ketika ayahnya, Prabu Pandu, mangkat. Sebagai ahli waris, Pandawa serius dipersiapkan menjadi pemimpin berikutnya.

Setelah Pandawa dianggap matang dalam hal kepribadian, Durna lalu mengajarkan ilmu bela diri dan berkelahi dalam pertempuran. Selain itu, melatih menjemparing menggunakan berbagai senjata serta membekali strategi perang.

Belum paripurna menimba ilmu, Pandawa terusir dari istana gara-gara Kurawa merampas hak mereka sebagai ahli waris takhta Astina. Bahkan, Puntadewa dan adik-adiknya menjadi target pembunuhan oleh saudara sepupunya itu.

Kurawa ialah anak kakak Pandu, Drestarastra, dengan Gendari. Mereka terdiri atas seratus orang. Sulungnya bernama Kurupati alias Jaka Pitana, dan atas kelicikan Sengkuni, ia menduduki singgasana raja bergelar Prabu Duryudana.

Ketika mengembara, hidup berpindah-pindah dari satu ke tempat lain, Pandawa menerima wejangan kepribadian dari ibunda, Kunti, yang setia menyertai. Itu pendidikan di tengah penderitaan, artinya langsung diuji dalam kepapaan.

Kunti menebalkan hati putra-putranya bahwa lelakon iku adile dilakoni. Itu ajaran yang menjelaskan setiap peristiwa yang dihadapi. Sekalipun itu pahit, harus dijalani dengan legawa dan ikhlas. Senantiasa bersyukur atas semua yang terjadi.

Pandawa diingatkan jangan pernah memusuhi dan membenci Kurawa walau sudah berbuat jahat. Kekuasaan bukan segala-galanya sehingga tidak perlu diperjuangkan hingga mengabaikan laku utama. Tetap di jalan yang diridai sang Maha Pencipta.

Penggulawentahan Kunti menjadikan Pandawa tak pernah mendha (kendur) setiap diterpa peristiwa apa pun. Semua dihadapi dengan penuh kesabaran seraya memanjatkan permohonan perlindungan sang Hyang Widhi, penguasa jagat raya.

Selain dari Kunti, Pandawa dipoles kakek mereka, Begawan Abiyasa. Pengelola pertapaan Ratawu di Sapta Arga itu menekankan pentingnya bertindak tanduk mulia. Nilai manusia ditentukan oleh kualitas jiwa dan perilakunya.

Menurut Abiyasa, kesatria harus bisa menjaga kesinambungan ati, lati, lan pakarti. Maknanya, antara kata hati, ucapan, dan tindakan, itu harus sejalan. Itulah wujud kejujuran yang mesti menjadi napas laku kesatria sejati, tidak mencla-mencle.

Oleh karena itu, kesatria tidak mingkuh (pantang mundur) menghadapi apa pun meski itu berbahaya dan mengancam jiwa. Teguh pendiriannya dalam upaya menegakkan keadilan walaupun nyawa taruhannya.

Wejangan dan ajaran luhur Abiyasa tidak berhenti ketika Pandawa telah dewasa, bahkan menjadi orangtua dan berkuasa atas negara yang mereka dirikan, Amarta alias Indraprastha. Sang begawan terus menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Buah dari pendidikan karakter itu, Pandawa menjadi para kesatria terkemuka dan kesayangan dewa. Setiap peristiwa dijadikan sebagai wahana belajar mendapatkan atau menambah ilmu (kesaktian). Mereka melakukan proses belajar deep learning.

Misalnya, Bratasena yang berwatak berani, teguh, dan jujur berhasil menguasai ilmu yang merangsang jiwanya, yakni sangkan paraning dumadi. Tanpa watak yang kuat menghadapi tantangan, tidak mungkin mampu menggayuh ilmu tersebut.

Menurut kisahnya, bagaimana ia menghadapai dua raksasa kembar, Rukmuka dan Rukmakala, yang mengancam jiwanya di Hutan Tikbrasara sebagai syarat untuk mendapatkan ilmu tersebut. Begitu juga ketika mengaduk-aduk Samudra Selatan.

 

Bermartabat

Tidak ubahnya Permadi alias Arjuna. Bila tidak berkarakter hebat, tak mungkin menjadi petapa bergelar Begawan Ciptaning di Goa Mintaraga. Peristiwa itu ketika Pandawa jadi pesakitan di Hutan Kamyaka akibat kalah main dadu melawan Kurawa.

Buah dari keprihatinannya itu, Arjuna mendapatkan pusaka panah Pasopati yang amat ampuh dari penguasa Kahyangan Bathara Guru. Itulah senjata utamanya ketika mengalahkan Kurawa dalam Perang Bharatayuda.

Dari kisah singkat ini, bisa dipetik hikmahnya bahwa Pandawa menjadi kesatria terbaik dunia karena memiliki karakter yang baik. Dengan modal itu, mereka kemudian belajar dan menggapai ilmu sebagai bekal menegakkan keadilan.

Nah, terkait dengan rencana perubahan kurikulum pendidikan, apa pun yang akan diterapkan, jangan melupakan pendidikan karakter. Kenapa? Karakter merupakan fondasi bangunan bangsa yang bermartabat. (M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya