Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Pensiun ala Abiyasa

Ono Sarwono
20/10/2024 05:20
Pensiun ala Abiyasa
Ono Sarwono Penyuka wayang(MI/Ebet)

JABATAN Presiden Joko Widodo berakhir pada hari ini, 20 Oktober 2024, setelah dua periode memimpin Indonesia. Hari ini juga Jokowi pulang ke Surakarta karena rumah ‘hadiah’ negara di Colomadu, Karanganyar, Jateng, belum selesai dibangun.

Dalam berbagai kesempatanJokowi tidak menyampaikan secara terbuka rencana apa yang akan beliau lakukan setelah pensiun sebagai Kepala Negara. Untuk sementara waktu, beliau ingin istirahat dulu setelah satu dasawarsa bekerja keras tanpa henti.

Bagaimanapun, Jokowi berperan besar dalam proses pergantian kepemimpinan nasional yang berjalan mulus. Dedikasi demikian itu mesti terus diteladani dalam setiap pergantian penguasa sehingga demokrasi di Republik ini kian bermartabat.

Kalau menengok cerita wayang, pergantian kepemimpinan yang dinilai amat apik terjadi di Astina, yakni dari Prabu Kresna Dwipayana kepada penggantinya, Pandu Dewanata. Banyak raja tertarik mengikuti jejaknya, tetapi umumnya tidak mampu.

 

Menjadi raja

Syahdan, Abiyasa mendapat mandat menjadi Raja Astina. Padahal, lelaki pendiam yang tinggal di lereng Gunung Sapta Arga itu bukan keturunan raja dan tentu saja bukan pula putra mahkota. Takdir yang mengantarkannya duduk di singgasana.

Pada mulanya kepemimpinan Astina komplang (kosong). Dua putra mendiang Prabu Sentanu, yaitu Citranggada dan Wicitrawirya, yang menggantikan sebagai raja secara berurutan meninggal dunia. Mereka pun sama-sama tidak punya anak.

Durgandini, permaisuri Sentanu, sedih kehilangan dua putra dan bingung terkait dengan siapa yang mesti melanjutkan kepemimpinan. Sementara itu, dirinya tidak mungkin menjadi penguasa mengingat usia serta berbagai kendala lain.

Paranpara beserta para nayaka praja menyampaikan pendapat kepada Durgandini bahwa berdasarkan paugeran (konstitusi), bila sudah tidak ada trah atau keturunan raja, yang harus mengisi kekosongan pemimpin ialah mereka golongan orang suci.

Sejenak setelah merenung, Durgandini ingat putranya yang lahir dari pernikahan sebelumnya dengan Resi Palasara. Sejak berpisah, buah hatinya yang diberi nama Abiyasa memilih tinggal bersama sang ayah di Pertapaan Ratawu, Sapta Arga.

Awalnya Abiyasa tidak bersedia menjadi raja karena ingin fokus mengikuti jejak Palasara sebagai petapa. Namun, setelah ibunda menjelaskan duduk perkaranya, ia terenyuh dan akhirnya sendika dhawuh (menerima perintah), tetapi dengan syarat.

Permintaannya satu, pada suatu saat nanti ia bebas mengakhiri jabatan sebagai raja. Kenapa demikian, hatinya berkata menjadi penguasa bukan panggilan jiwa. Lalu, Abiyasa dinobatkan sebagai raja bergelar Prabu Kresna Dwipayana.

Di bawah pemerintahannya, Astina semakin maju dan rakyat hidup sejahtera lahir dan batin. Pencapaian tersebut berkat kepemimpinan yang ‘bersajadahkan’ watak resi, yaitu jujur, ikhlas, terbuka, dan selalu mengutamakan sagung titah (rakyat). 

 

Kembali ke Sapta Arga

Seiring berjalannya waktu, setelah berkuasa sekitar dua dasawarsa, Prabu Kresna Dwipayana merasa sudah waktunya lengser keprabon (turun takhta) saat ketika tiga putranya, yaitu Drestarastra, Pandu, dan Yama Widura, beranjak dewasa.

Drestarastra, putra sulung, lahir dari istri pertama, Ambika. Kemudian dari istri kedua, Ambalika, lahir Pandu. Kedua wanita yang menurunkan benihnya itu janda almarhum Wicitrawirya. Sementara itu, Widura lahir dari rahim istri ketiga, Datri.

Kresna Dwipayana yakin putranya mampu melanjutkan kepemimpinan di Astina. Ia tidak ingin berkuasa selamanya. Setelah pensiun, pulang ke Sapta Arga madeg pandita, menjadi guru bangsa seraya meleremkan (menenangkan) nafsu duniawi dan istikamah mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta.

Untuk menentukan pengganti, Kresna Dwipayana meminta saran dan masukan dari para sentana dalem (keluarga istana) dan nayaka praja. Setelah bertafakur dan menimbang-nimbang dengan matang, pilihan jatuh kepada putra kedua, Pandu.

Dalam rangka mempersiapkan Pandu, Kresna Dwipayana memberi wejangan ilmu kanarendran (raja) dan ilmu tata negara dan pemerintahan serta mewariskan berbagai pusaka. Semua itu sebagai bekal mengemban amanah yang tidak enteng.

Singkat cerita, tepat pada hari yang telah ditentukan, Pandu dinobatkan menjadi raja muda bergelar Prabu Pandu Dewanata. Seluruh rakyat menyambut gembira dan berharap Astina semakin maju dan kuat serta rakyat kian sejahtera.

Tidak lama setelah perhelatan tersebut, Kresna Dwipayana pamit kepada keluarga istana dan nayaka praja untuk kembali ke Sapta Arga. Ia tanggalkan privilesenya, termasuk gelar dan hanya ingin dipanggil dengan nama kecilnya, Abiyasa.

Ketika pulang kampung, Abiyasa tidak menggunakan fasilitas negara meski telah disediakan. Pun tidak mau dikawal prajurit istana. Ia melenggang sendirian yang diniatkan sebagai laku dengan berzikir dan berdoa memohon berkah sang Mahakuasa.

 

Berusia panjang

Setelah lengser, nama Abiyasa tidak meredup. Pamornya malah kian bersinar dengan perannya sebagai ‘penceramah’ kelas dunia. Bukan hanya sebatas ilmu politik dan pemerintahaan, melainkan juga ilmu ‘kasepuhan’ serta spiritualisme.

Meski jauh dari istana, Abiyasa tak pernah melupakan Astina. Setiap peristiwa dan perkembangan di negara tersebut tak luput dari perhatiannya. Namun, itu bukan berarti campur tangan dalam politik praktis. Sebatas memberi saran dan nasihat.

Di antara cucunya, hanya keluarga Pandawa yang telah memiliki negara sendiri (Amarta) yang kerap sowan meminta saran dan doa. Setiap ada masalah atau punya gawe (agenda), Pandawa mengutus Arjuna atau Abimanyu ke Sapta Arga.

Abiyasa ditakdirkan berusia panjang. Ia menjadi saksi terjadinya Bharatayuda, perang antarcucunya, Pandawa dan Kurawa. Bahkan hingga merestui cicitnya, Parikesit, ketika menjadi raja Yawastina, negara bersatunya Astina dan Amarta.(M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik