Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
TRADISI adat dalam budaya Bugis adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bugis sebagai bagian dari kepercayaan mereka.
Di Desa Binuang, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan, masih dilangsungkan upacara adat Bugis yang berkaitan dengan kepercayaan tradisional. Di antaranya upacara Mappalili dan Maddoja Bine, yang dilakukan sebelum musim menanam padi, kemudian upacara No’ Risalo yang merupakan pengenalan bayi yang baru lahir kepada keluarga di alam nyata maupun tidak nyata.
No’ Risalo dilaksanakan oleh keluarga Bugis, terutama keturunan bangsawan, berdasarkan tradisi nenek moyang yang merupakan warisan I La Galigo. Beruntung penulis diajak oleh budayawan Barru, Badaruddin Amir, 62, yang keluarganya melaksakan tradisi No Risalo di rumah Andi Malle atau Puang Malle.
Baca juga : Meredefinisi Pundhen untuk Kehidupan yang Berkelanjutan
“Di tanah Bugis, anak yang baru lahir perlu diperkenalkan kepada semua orang, terutama kepada semua keluarga baik yang hidup di dunia nyata (ale lino) maupun yang diyakini hidup di alam yang tidak nyata di ‘boting langi’ (di dunia atas) maupun di ‘buruqliu’ (di dunia bawah). Itulah sebabnya seorang anak dari keluarga Bugis yang lahir perlu diperkenalkan kepada penghuni dunia bawah (buruqliu) dan dunia atas (botinglangi’) melalui sarana upacara No’ Risalo atau turun ke sungai,” jelas Badaruddin Amir.
Upacara No’ Risalo ini sepintas juga memiliki makna dan kesamaan dengan upacara ‘turun mandi’ bagi keluarga Minangkabau yang baru saja melahirkan bayi. Upacara turun mandi adalah tradisi di Minangkabau yang dilakukan untuk menyambut kelahiran bayi. Tujuannya untuk mengumumkan kelahiran bayi serta mengungkapkan rasa syukur atas lahirnya seorang anak.
Selain itu, beberapa keluarga Bugis meyakini bahwa mereka memiliki ‘orangtua’ (keturunan) dari bangsa To Risalo (orang yang ada di sungai). To Risalo berbentuk fisik secara konkret sama dengan buaya (Crocodylus porosus), tetapi pada faktanya To Rilaso ditemukan sebagai makhluk yang memiliki sifat-sifat bertentangan dengan buaya sebagai binatang buas. To Risalo’ adalah mahluk sungai yang memiliki sifat-sifat manusiawi, jinak, penolong, dan memiliki rasa kasih sayang yang tinggi kepada manusia. Persepsi ini tentu saja bisa diperdebatkan. Namun, banyak keluarga Bugis yang sering mendapat kunjungan To Risalo atau nenek moyangnya.
Baca juga : Gelegar Wayang Potehi Jombang di Majelis Umum UNESCO
Memang menjadi tradisi lisan dan tidak dapat dijelaskan lagi bagaimana manusia Bugis bisa melahirkan seekor buaya yang kemudian menjadi ‘nenek moyang’ mereka, karena secara ilmiah tak ada hubungan genetis antara manusia dan binatang.
Menghanyutkan walasuji
Baca juga : Dendang Kaba dan Talempong di Panggung Napoli
Pelaksanaan upacara adat No’ Risalo dimulai dengan pembuatan walasuji. Walasuji adalah wadah yang dibuat dari bambu berbentuk kubus dengan ukuran sekitar 1 meter persegi. Keempat sisi dindingnya dianyam dengan anyaman khusus ‘walasuji’.
Walasuji ini berfungsi sebagai wadah tempat menyimpan makanan atau kue sesajen. Sesajen terdiri atas sokkopitunrupa atau nasi ketan tujuh warna: kue-kue tradisional Bugis, pisang tanduk, dan puluhan ayam kampung yang dimasak utuh. Tidak dipisahkan bagian-bagian tubuhnya kecuali jeroan dan bulunya.
Jumlah walasuji yang disiapkan bagi setiap anak keluarga Bugis yang lahir dan ingin diperkenalkan ke sungai ialah empat sampai lima buah. Jumlahnya tergantung kemampuan masyarakat yang melaksanakan upacara tradisional No’ Risalo.
Baca juga : Jejak Budaya Panji di Tanah Banjar
Setelah selesai menyiapkan walasuji, dilanjutkan dengan memasuki inti dari upacara No’ Risalo. Seorang dukun, yang memang dikenal telah biasa memimpin upacara No’ Risalo di suatu kampung, diundang untuk memimpin upacara No’ Risalo. Setelah persiapan upacara dirasa telah lengkap, maka dukun kampung melakukan kegiatan berdoa atau mengucapkan mantra di depan walasuji-walasuji tersebut. Dupa dan asap kemenyan serta benno (popcorn) tak ketinggalan menjadi sarana dalam berdoa.
Seusai dukun kampung mendoakan setiap walasuji, dibunyikanlah musik lae-lae (musik bambu pecah) yang dimainkan oleh sekelompok perempuan berpakaian adat baju bodo dan lipa sabbe, ditingkah suara gendang yang dimainkan seorang atau dua orang laki-laki.
Setelah itu, sang dukun kampung menyodorkan telur ayam kepada personifikasi atau simbol buaya (buaya imajinatif) yang dibuat dari kain batik atau peralatan tenun yang dibungkus kain putih menyerupai buaya. Personifikasi buaya ini termasuk peralatan upacara yang telah disiapkan sebelumnya. Selanjutnya, ada yang membawa sesajen tersebut dalam wadah walasuji itu ke sungai dan menghanyutkannya.
Walasuji dengan isinya kemudian diperebutkan oleh anak-anak pemberani. Ada juga walasuji yang diletakkan di tepi sungai. Air yang disimpan di sisi walasuji sebagai simbol mata air juga diperebutkan. Setelah itu, upacara No Risalo dianggap telah selesai dan isi dari walasuji boleh dibagi-bagi kepada segenap keluarga yang datang sebagai barakka atau berkah. (M-1)
Bagi Suku Akit, sumpit menjadi simbol identitas dan kebanggaan mereka. Setiap detail sumpit, mulai dari bahan baku hingga ornamennya, memiliki arti simbolis.
Upacara mangkeng juga dimaksudkan untuk nyumpel atau menyumbat, maksudnya ialah menyumbat nafsu makan tamu undangan yang datang.
Penyebutan jekdong didasarkan pada bunyi kecrek 'jek' disusul dengan suara tepukan kendang dan bunyi gong.
Andi Rumbrar menunjukkan arti keadilan sosial dengan mengabdi untuk kesetaraan pendidikan anak-anak suku Wano di pedalaman Papua.
Anak putu Bonokeling di pesisir selatan Jawa Tengah merupakan komunitas Islam abangan yang mengamini proses dialogis antara Islam dan tradisi Jawa.
Meski selama ini fokus ke balamut hiburan (karasmin), Ferdi Irawan, 22, memberanikan diri memenuhi permintaan untuk menjadi penutur balamut tatamba (pengobatan).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved