Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Munculnya berbagai patogen (penyakit) yang dipicu perubahan iklim, bukan isapan jempol belaka. Menurut penelitian yang diterbitkan Rabu (19/10), iklim yang memanas dapat membawa virus di kutub utara ke lingkungan di sekitarnya dan mendapatkan inang baru. Hal ini meningkatkan risiko "limpahan virus".
Untuk diketahui, virus membutuhkan inang seperti manusia, hewan, tumbuhan, atau jamur untuk bereplikasi dan menyebar. Kadang-kadang mereka dapat melompat ke inang yang baru yang tidak memiliki kekebalan, seperti yang terjadi selama pandemi Covid-19. Para ilmuwan di Kanada itu ingin menyelidiki bagaimana perubahan iklim dapat memengaruhi risiko limpahan virus dengan memeriksa sampel dari kutub utara, terutama di Danau Hazen. "Ini adalah danau terbesar di dunia yang seluruhnya berada di ulingkar kutub utara, dan benar-benar tidak seperti tempat lain yang pernah saya kunjungi", kata peneliti Graham Colby, yang sekarang menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Toronto, kepada AFP.
Tim peneliti mengambil sampel tanah yang menjadi dasar sungai untuk air gletser yang meleleh di musim panas, serta dasar danau itu sendiri, yang membutuhkan pembersihan salju dan pengeboran es sepanjang dua meter, termasuk pada Mei ketika penelitian dilakukan. Mereka menggunakan tali dan mobil salju untuk mengangkat sedimen danau melalui hampir 300 meter (980 kaki) air. Sampel kemudian diurutkan untuk DNA dan RNA, serta cetak biru genetik "Ini memungkinkan kami untuk mengetahui virus apa yang ada di lingkungan tertentu, dan inang potensial apa yang juga ada," kata Stephane Aris-Brosou, seorang profesor di departemen biologi Universitas Ottawa, yang memimpin penelitian tersebut.
Tetapi untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan mereka melompati inang, tim perlu memeriksa ekuivalen dari masing-masing virus dan silsilah keluarga inang. "Pada dasarnya apa yang kami coba lakukan adalah mengukur seberapa mirip pohon-pohon ini," kata Audree Lemieux, penulis pertama penelitian tersebut. Silsilah serupa menunjukkan virus telah berevolusi bersama dengan inangnya. Jika virus telah melompati sekali ke satu inang, kemungkinan besar akan terjadi lagi. 'Sangat tidak terduga' Analisis menemukan perbedaan mencolok antara virus dan inang di dasar danau, yang berkorelasi langsung dengan risiko limpahan," kata Aris-Brosou.
Perbedaannya tidak terlalu mencolok di dasar sungai, yang menurut teori para peneliti adalah karena air mengikis lapisan tanah atas, menghilangkan organisme dan membatasi interaksi antara virus dan inang baru yang potensial. Mereka malah hanyut ke danau, yang telah mengalami "perubahan dramatis" dalam beberapa tahun terakhir, kata studi tersebut. enyebabnya karena peningkatan air dari gletser yang mencair menyimpan lebih banyak sedimen. "Itu akan menyatukan inang dan virus yang biasanya tidak saling bertemu," kata Lemieux.
Para penulis penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, memperingatkan bahwa mereka tidak memperkirakan limpahan yang sebenarnya atau pandemi. "Kemungkinan peristiwa dramatis tetap sangat rendah," kata Lemieux. Mereka juga diperlukan banyak penelitian untuk mengklarifikasi seberapa besar perbedaan antara virus dan inang yang dibutuhkan untuk menciptakan risiko limpahan yang serius. Namun, mereka berpendapat, cuaca yang memanas dapat meningkatkan risiko lebih lanjut jika calon inang baru pindah ke daerah yang sebelumnya tidak ramah. "Bisa apa saja, mulai dari kutu, nyamuk, hewan tertentu, hingga bakteri dan virus itu sendiri," kata Lemieux.
"Ini benar-benar tidak dapat diprediksi ... dan efek limpahan itu sendiri sangat tidak dapat diprediksi, dapat berkisar dari yang jinak hingga pandemi yang ganas." Tim menginginkan lebih banyak pekerjaan penelitian dan pengawasan di wilayah tersebut untuk memahami risikonya. "Jelas kami telah melihat dalam dua tahun terakhir apa efek dari melimpahnya virus ini," kata Lemieux. (M-3)
Studi Nature ungkap pemanasan global tingkatkan fotosintesis darat, tapi lemahkan produktivitas laut. Hal itu berdampak pada iklim dan rantai makanan global.
Komitmen terhadap pengelolaan lingkungan berkelanjutan harus ditegakkan secara konsisten demi menjawab ancaman serius akibat pemanasan global.
Riset terbaru mengungkap pemanasan global membuat ribuan meteorit tenggelam di bawah es Antartika setiap tahun.
Mencairnya gletser memuci letusan gunung api yang lebih sering dan eksplosof, yang memperparah krisis iklim.
Penelitian terbaru mengungkap hilangnya hutan tropis menyebabkan pemanasan global berkepanjangan setelah peristiwa Great Dying 252 juta tahun lalu.
Pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca meningkat, anggaran karbon Bumi diperkirakan akan habis dalam waktu 3 tahun ke depan.
Penyakit Respiratory Syncytial Virus (RSV) kini menjadi perhatian utama dunia kesehatan. Walau sering dianggap sebagai flu biasa, RSV menyimpan potensi bahaya serius.
Pneumonia bisa menjadi invasif dan berat bagi orang dewasa, terlebih bagi individu yang memiliki penyakit komorbid misalnya HIV atau penyakit jantung pada usia lanjut.
Hari Hepatitis Sedunia dirayakan setiap tanggal 28 Juli sebagai aksi global untuk menunjukkan perhatian terhadap hepatitis yang masih menjadi risiko besar bagi kesehatan masyarakat.
Varian baru virus SARS-CoV-2 yang dikenal dengan nama Nimbus atau varian NB.1.8.1 mulai menarik perhatian dunia setelah penyebarannya meningkat di sejumlah negara Asia.
PARA ilmuwan di Tiongkok telah menemukan sejumlah virus baru yang belum pernah terlihat sebelumnya pada kelelawar yang hidup di dekat manusia.
Peneliti di Tiongkok menemukan 20 virus baru di ginjal kelelawar Yunnan, dua di antaranya mirip dengan virus mematikan Nipah dan Hendra.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved