Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Tapak Tilas Cak Nur di Bilik-Bilik Pesantren

DD/M-2
05/3/2022 07:25
Tapak Tilas Cak Nur di Bilik-Bilik Pesantren
Cover buku Bilik-Bilik Pesantren.(Dok. Dian Rakyat)

SELALU terkagum-kagum dan pasti menjadi topik menarik kala mengenang kembali sosok jenius, sang pemikir kita, cendekiawan muslim, budayawan, almarhum Profesor Nurcholish Madjid atau akrab disapa Cak Nur.

Di peringatan milad ke-75 tahunnya, beberapa waktu lalu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) secara khusus menggelar kegiatan bertajuk Tapak Tilas Cak Nur dan Bedah Buku Bilik-Bilik Pesantren, di Pondok Pesantren Al-Falak, Pagentongan, Bogor, Jawa Barat.

Melihat riwayat hidupnya, Cak Nur yang lahir pada 17 Maret 1939 di Jombang, Jawa Timur, itu, ialah seseorang yang lekat dengan dunia pesantren. Selain memang lahir dari keluarga pesantren, bisa dikatakan besar dan berkembangnya Cak Nur banyak di dunia pesantren.

Tentang Cak Nur dan dunia pesantren disebut dalam buku biografi oleh Faisal Hilmi. Di situ ditulis, pada 1955, Cak Nur lulus dari Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Cak Nur kembali nyantri dengan melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Gontor, di Ponorogo, Jawa Tengah, pada 1960.

Saat tapak tilas tentang Cak Nur, ternyata pada 1973 Cak Nur pernah juga hadir di Pesantren Al Falak, Pagentongan, Bogor, dan melakukan penelitian.

Achmad Ubaidillah, Sekretaris Umum Yayasan Al- Falak Pagentongan, dalam acara tersebut mengatakan, saat itu Cak Nur beserta beberapa rekan penelitiannya datang ke Pagentongan. Penelitian itu kemudian diterbitkan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Sebuah buku profi l pesantren Al-Falak dan delapan pesantren lain di Bogor.

Hal yang menyenangkan, lanjut Achmad, buku tersebut tumbuh menjadi salah satu rujukan penting dalam studi keislaman di Indonesia dan itu dirujuk Indonesianis tentang sosiologi agama, kemudian pesantren dan pembaruan, termasuk juga menjadi buku rujukan penting di dalam menjelaskan tentang Islam dan politik.

“Dari hampir sebegitu banyak bukubuku kajian tentang sosiologi agama, kemudian keanekaragaman sosial itu menjadikan karya Cak Nur di 1974 beserta seluruh teman-temannya dan sebagian besar kader HMI itu menjadi rujukan,” tambahnya.

Buku Bilik-Bilik Pesantren yang diterbitkan Paramadina pada 1997, kata dia, merupakan kompilasi pemikiranpemikiran Cak Nur di era 70-an.

“Saya ingin menarik benang merahnya bahwa 1973 Cak Nur dan temantemannya bisa di sini sampai satu tahun, itu sebetulnya dari buku yang saya baca tersebut, justru menjawab apa yang selama ini jadi prasangka Cak Nur di Bilik-Bilik Pesantren.”

Azyumardi Azra, kata Ubaidilah, dalam sambutan atau kata pengantar Bilik-Bilik Pesantren menyampaikan, buku ini cukup menarik untuk dikaji karena dia ialah teks yang hidup, bisa ditafsir ulang, bisa didiskusikan dalam berbagai wajah dan dimensi.

Azyumardi, lanjutnya, menarik konteks perubahan pendidikan di Turki dan Mesir di era Muhamad Ali Pasha, ketika madrasah menjadi institusi yang dipinggirkan secara politik oleh kedua kekuatan tersebut.

Perubahan militer dan demokrasi Turki dan Mesir membuat madrasah dianggap sebagai sebuah pendidikan yang tidak punya kontribusi banyak bagi gerakan reformasi dan militer.

Menurut Ubaidilah, justru ini berkebalikan dengan yang terjadi di Indonesia.

Pesantren justru mengadopsi pesantren madrasah menjadi bagian tak terpisahkan atau bagian sentral Islam dan pendidikan.

“Oleh karena itu, saya kira dalam konteks atau Bilik-Bilik Pesantren dari Cak Nur, tentu kita tidak juga tidak bisa bersukacita sepenuhnya karena karya tersebut juga tidak sepi dari kritik yang sangat luar biasa dari kalangankalangan yang tidak sepakat dengan pemikiran Cak Nur yang dianggap Bilik-Bilik Pesantren itu memosisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak memberikan sebuah etos bagi perubahan sosial,”katanya.

Masih menurut Ubaidilah, hal ini merupakan sebuah tafsir dan tidak masalah. Namun, baginya, membaca Bilik-Bilik Pesantren justru menemukan benang merah yang sangat kukuh.

Cak Nur memberikan kritik itu wajar karena lahir dari pesantren. Cak Nur dididik dan dilahirkan dalam kultur pesantren karena ayahnya seorang kiai meskipun aktif di Partai Masyumi yang belakangan dikritik Cak Nur dan kelompoknya menarik diri dari pusaran politik.

“Bagi kita semua, kader HMI, Cak Nur atau kakanda Nurcholis Madjid adalah representasi dari gerakan Islam kultural yang coba menjaga jarak dengan politik kekuasaan. Oleh karena itu, tepat sekali slogan Islam, yes; Partai Islam, no, itu adalah pikiran. Di usia yang begitu muda, Cak Nur punya konsulat pemikiran keagamaan, pemikiran keislaman yang sangat luar biasa.”

Cak Nur di usia di bawah 30 tahun sudah menggegerkan keagamaan yang tidak hanya di Indonesia, tapi juga di mancanegara.

“Tapi saya memosisikan Bilik-Bilik Pesantren justru adalah cara pandang Cak Nur, kecintaannya pada dunia pesantren kemudian memberikan satu saran, satu kritik,” katanya.

Poin kedua, yang menurut pemikiran Ubaidilah menarik, Cak Nur di Bilik-Bilik Pesantren ini melahirkan satu konsulat pemikiran yang menjadi renungan bersama semua pesantren.

Cak Nur membayangkan pesantren termasuk sekolah rakyat, Tebuireng itu dikombinasikan. Cak Nur melihat kalau kolonialisme tidak hadir di Indonesia, seharusnya pesantren itu berpotensi mentransformasi diri menjadi Harvardnya Indonesia atau Al-Azhar di Mesir.

Narasumber lainnya, Usep Mujani dari Muasis Majelis Musyawarah Santri Indonesia (Massai), mengatakan dirinya membaca buku itu baru 10 tahun ke belakang atau pada 2011. Membaca buku Bilik-Bilik Pesantren ini seperti membaca diri sendiri.

“Memang apa yang dikritik oleh Cak Nur terhadap pondok pesantren tradisional itu memang saya rasakan secara pribadi karena saya juga seorang santri,” katanya.

Ia mengaku penasaran dengan Cak Nur yang melakukan semacam perenungan dan kenapa harus Al-Falak?

“Saya mencoba menjawab subjektif, sebetulnya itu bisa kita lacak secara trilogi besar pemikiran Cak Nur soal keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Al-Falak, dalam kacamata saya, mempresenstasikan ketiganya sekaligus,” ungkapnya.

Usep melihat Cak Nur terobsesi sekali melakukan reformasi pesantren dan itu menjadi supremasi dari Islam di Indonesia ini. Artinya, pikiran Cak Nur di Bilik-Bilik Pesantren ini bisa kita lacak sesungguhnya dari trilogi-trilogi pemikirannya tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. (DD/M-2)

 

Judul: Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan
Penulis: Nurcholis Madjid
Penerbit: Dian Rakyat bekerja sama dengan Paramadina (2010)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya