Mendokumentasikan Skena Ska di Jakarta

Fathurozak
13/2/2022 20:23
Mendokumentasikan Skena Ska di Jakarta
Buku I Wanna Skank Melacak Ska di Jakarta 1996-2006 ditulis oleh Nor Rahman Saputra.(Dok. Penerbit EA Books.)

Lebih dari dua dekade silam, ska pernah begitu digandrungi oleh kalangan anak muda. Genre ini setidaknya menemukan momentumnya pada pengujung 90-an. Sempat menjadi tren dan dieksploitasi industri arus utama, ska lalu perlahan sepi gaungnya.

Dalam buku terbaru berjudul I Wanna Skank Melacak Ska di Jakarta 1996-2006, penulis Nor Rahman Saputra mencoba menelusuri awal mula genre ini dikenal di Indonesia, secara khusus di Jakarta selama sedekade.

Proses penyusunan buku tersebut dilakukan Norman, sapaannya, selama enam bulan. Ia bertemu dengan beberapa band-band dan tokoh ‘perintis’ untuk mendapatkan data dan mengkonfirmasi dinamika apa saja yang terjadi selama sedekade.

Di buku tersebut di antaranya Norman membahas mengenai beberapa kelompok pendengar musik itu, yang ia bagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka para puritan yang total dengan ska. Ada juga kelompok kedua yang ia golongkan ke dalam kelompok yang sebenarnya awalnya tumbuh dari skena punk underground dan skate, tetapi juga ikut mendengarkan ska.

Sementara, kelompok ketiga adalah mereka para pendengar musik ska yang sebenarnya disebabkan karena penetrasi genre tersebut sudah lebih massif. Salah satu yang turut menjadi pemicu adalah lagu Genit milik Tipe-X.

Norman juga mencatat, salah satu yang turut mendorong ska semakin massif dikenal lantaran seringnya masuk ke radio-radio. Ketika itu, menurut Norman, stasiun tv belum melirik ska. Bahkan seperti acara musik MTV pun hampir jarang memutar video musik dari genre underground.

Hal penting lain yang juga disebutkan dalam buku Norman adalah analisis soal banyaknya band-band ska yang kemudian masuk ke label besar.

“Medio 1999 ke atas, cukup banyak band-band ska yang kemudian masuk ke major label. Kalau dalam istilah sekarang lebih akrabnya disebut sell-out. Sementara di bawah 99 hampir jarang. Gue bisa mengatakan, ada empat poin mengapa itu bisa terjadi. Pertama adalah karena masalah finansial. Di bawah 1999, itu sangat sedikit band ska yang menghasilkan album. Sementara 99 ke atas, banyak rilisan ska yang ada di mainstream. Itu ya karena biaya produksi yang mahal. Dan ketika ada tawaran dari label, ya disambut dengan sukacita,” kata Norman dalam peluncuran dan diskusi buku I Wanna Skank Melacak Ska di Jakarta 1996-2006 di Wasted Rockers Store, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Sabtu, (12/2).

Di samping itu, juga soal pengetahuan dalam perekaman yang masih minim. Sementara mereka yang menginginkan progresivitas dalam berkarya, ingin agar tidak berhenti begitu saja.

“Ya kalau indie label ketika itu enggak banyak bisa merilis karya.”

Ditambah, label independen saat itu juga belum begitu mapan secara profesionalisme pendistribusian karya. Sehingga itu juga turut berpengaruh.

Buku I Wanna Skank Melacak Ska di Jakarta 1996-2006 diterbitkan oleh EA Books dan dijual dengan harga Rp78 ribu.(M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya