Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Revisionisme Sejarah dalam The East

Fathurrozak
17/8/2021 11:59
Revisionisme Sejarah dalam The East
Adegan Johan (kiri) bersama Westerling (kanan).(Mola TV)

Bila selama ini kita menonton film-film bertema perjuangan kemerdekaan Indonesia dari sudut pandang dalam negeri, film The East (De Oost) mencoba memberikan sudut pandang berbeda. Dalam film itu, sutradara Jim Taihuttu mengonstruksi sejarah kolonialisme negaranya, Belanda, lewat kronik masa persiapan kemerdekaan Indonesia.

Dalam beberapa waktu belakangan urusan revisi sejarah lewat film lebih akrab dilakukan para sineas Hollywood (AS). Istilahnya, history revisionism; mencoba menilik sejarah dari perspektif berbeda, bahkan ada kalanya mereka suatu alternatif yang barangkali dianggap lebih ideal. Inglourious Basterds dari sutradara Quentin Tarantino ialah salah satu contoh signifikan. Contoh anyar bisa merujuk pada Da 5 Bloods yang menampilkan ‘wajah’ Amerika dengan latar tempat di luar negaranya, tepatnya di Vietnam. 

Di ranah sinema Indonesia, upaya revisi sejarah dari yang diajarkan di sekolah era Orba, juga dilakukan. Walau, kebanyakan datang dari genre dokumenter seperti seri Jagal-Senyap (Joshua Oppenheimer) terkait tragedi kekerasan 1965. Ada juga Pulau Buru Tanah Air Beta (Rahung Nasution) tentang penahanan dan kerja paksa di Pulau Buru 1968-1979, Nyanyian Akar Rumput (Yuda Kurniawan) tentang Fajar Merah yang memaknai sosok ayahnya, Wiji Thukul, penyair cum aktivis. 

Dari beberapa film soal epos sejarah kemerdekaan, yang muncul memang kerapnya berkutat pada bangunan narasi nasionalisme dan glorifikasi tokoh.

The East semacam memberi alternatif narasi yang selama ini tampaknya belum dieksplorasi sineas kita. Idenya berangkat dari operasi militer Raymond Westerling di Sulawesi Selatan (1946-1947) saat ia membantai banyak nyawa.

Cerita The East bergulir lewat tokoh Johan de Vries (Martijn Lakemeier), tentara sukarelawan yang berangkat ke Hindia, dan ditempatkan di Semarang. Dengan kehadiran karakter Johan ini pula, Jim punya lapisan penceritaan lain. Sudut pandang para tentara sukarelawan yang berangkat ke Hindia tersampaikan lewat dialog pada awal kedatangan. Narasi soal pembebasan tanah koloni Hindia dari fasis Jepang merupakan propaganda yang digaungkan para atasan KNIL (angkatan perang kolonial Hindia Belanda). Selagi Johan berupaya mencerna propaganda angkatan militernya, ia juga berada dalam pergulatan mengenai tujuan sebenarnya turut ke Hindia. 

Sisi emosional kemanusiaan di tengah kekacauan perang itulah yang ditampilkan lewat wajah Johan. Penyertaan dua linimasa berbeda, menebalkan intensi yang ingin disampaikan Jim, tentang dampak yang juga dialami para tentara sukarelawan KNIL.

Bukan sekadar hitam putih

Ia tampaknya ingin menunjukkan sisi humanis dari para tentara sukarelawan KNIL. Alih-alih semacam pembelaan sebagai kolonialis, Johan menjadi entitas yang bukan hanya hitam-putih belaka. Ia dihadirkan sebagai sosok yang punya kompleksitas dan turut menjadi ‘korban’ perang. 

Di negara asalnya, Johan merasa ‘hina’ sebab ayahnya adalah partisan kelompok nasionalis-sosialis pro-Nazi. Keberangkatannya ke Hindia ialah upaya penebusan dosa. Tapi, dia kemudian dihadapkan pada idealisme yang kopong sebab kedatangannya sama-sama menjadi pembantaian, alih-alih pembebasan. Secara subtil, Jim juga menaruh karakter Mattias Cohen (Jonas Smulders), karib Johan di Hindia untuk menaruh lapisan pergulatan lainnya lagi. 

Tidak perlu ditunjukkan dengan eksposisi dialog pun, maksud itu tersampaikan. Johan dengan foto bapaknya yang mengenakan lambang swastika, dan Mattias yang mengenakan kalung bintang David. Semacam tragedi ketika keduanya sejak mula bersama-sama hingga menjadi kelompok elit Westerling dan meyakini gagasan yang berbeda.

Lensa yang bukan sekadar hitam-putih sejarah itu juga diupayakan dengan memberikan ruang bagi Samuel Manuhio (Joenoes Polnaija), Jong Ambon yang turut serta dalam Korps Speciale Troepen, kelompok elit bentukan Westerling untuk operasi militer memberantas terduga pemberontak. Sebagai penganut kristen dan non-Jawa, Samuel merasa ia bukan bagian dari bangsa Indonesia yang baru saja diumumkan merdeka. 

Sayangnya memang Jim tidak begitu banyak memasukkan pejabat kerajaan sebagai yang turut bertanggung jawab atas kekacauan di koloni Hindia. Fokusnya lebih pada pengungkapan kejahatan Belanda dan mengakui kesalahan masa lampau, sehingga ketiadaan tokoh/pemimpin kelompok gerilyawan Indonesia di layar juga bisa masuk akal. Para gerilyawan yang tertangkap hanya sebagai kameo. Tapi, tentu seharusnya Jim punya kendali lebih untuk memasukkan para pejabat yang lebih punya peran penting di atas Westerling. 

Seperti misalnya bagaimana Tarantino ‘bermain-main’ dalam menerjemahkan sejarah di Inglorious Basterds. Kendati secara pendekatan berbeda, tetapi patutnya Jim juga menyeret nama-nama yang punya tanggung jawab besar pada kekacauan di Hindia.

Pengadeganan soal para tentara KNIL yang menikmati Semarang, juga sedikit minus saat muncul barongan dan penari yang lebih berasosiasi dan menunjukkan latar Bali. Memang, sinema punya dunianya sendiri dari dunia realitas di luar bingkai kamera. Tapi, tentu untuk menyisipkan unsur yang sudah populer dalam realitas, baik seperti bangunan atau lainnya, pembuat film butuh kejelian.

Adapun karakterisasi aktor cukup apik dalam memerankan tokohnya. Marwan Kenzari, sebagai Raymond Westerling berhasil menunjukkan kebengisan, plus dialog bahasa Indonesia yang baik. Martijn, sebagai sosok sentral juga berhasil memerankan Johan dan segala kompleksitas sebagai tentara sukarelawan.

The East adalah pengungkapan sejarah tentang kolonialisme Belanda di Indonesia lewat sudut pandang Johan de Vries, seorang tentara sukarelawan KNIL. Lewat Johan, Jim serupa mengungkap borok Belanda dan menunjukkan kejahatan kolonialisme dan dampaknya. Bukan hanya pada tanah jajahannya, tetapi juga mereka yang ‘harus’ sukarela memenuhi hasrat negara dan kerajaan kolonial.

The East bisa disaksikan di Mola TV sejak (7/8). (M-2) 


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra
Berita Lainnya