Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Ta-buta’an, Ondel-Ondel Masyarakat Pendalungan

M Ilham Zoebazary
06/6/2021 06:35

MASYARAKAT Pendalungan, yakni etnik yang mendiami wilayah Jember dan sekitarnya, secara rutin menyelenggarakan ritual adat Kadisah setahun sekali. Ritual ini pada intinya serupa dengan selamatan bersih desa. Tujuannya memohon kepada Tuhan agar mereka memperoleh keselamatan bagi seluruh warga desa. Uniknya, di dalam ritual itu dihadirkan berpuluh sosok boneka ta-buta’an yang diarak berkeliling desa. Secara fisik, ukuran dan bentuk boneka itu mirip dengan ondel-ondel Betawi. Bedanya, ondel-ondel berwajah ramah yang merepresentasikan manusia biasa, sedangkan ta-buta’an berwajah seram, menggambarkan raut muka makhluk gaib. Kedua tangan boneka ondel-ondel dapat digerakkan, sedangkan kedua tangan boneka ta-buta’an terikat. Sosok sangar itu dihadirkan dalam rangka ‘mewakili’ makhluk gaib untuk melakukan perjanjian damai dengan manusia.

Pada awalnya, sosok ta-buta’an disakralkan dan hanya boleh dimunculkan di hadapan khalayak pada saat ritual adat. Namun, selaras dengan perubahan zaman, kini tidak lagi demikian. Selain tetap berfungsi sebagai representasi makhluk gaib dalam ritual adat, di sisi lain ta-buta’an telah bertransformasi menjadi seni pertunjukan. Unsur musik dan tari telah ditambahkan, bahkan dipadu dengan atraksi seni bela diri pencak silat. Kini masyarakat tidak hanya dapat menyaksikan kemunculan ta-buta’an pada saat ritual adat, tetapi kapan saja ketika sebuah kelompok seni ta-buta’an ditanggap pada acara hajatan.

Cikal bakal tradisi ta-buta’an berasal dari Desa Kamal, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember, yang oleh masyarakat setempat dianggap desa kuno pada era Kerajaan Majapahit. Desa yang dihuni sekitar 2.000 keluarga dan mayoritas beragama Islam itu dianggap sebagai desa tertua di kawasan utara Jember. Di tempat itu terdapat banyak peninggalan prasejarah berupa batu kenong, menhir, dan sarkofagus. Desa yang terus berkembang itu terletak di lereng selatan pegunungan Argopuro, berjarak sekitar 15 km dari pusat Kota Jember, dengan suhu udara rata-rata 27 derajat celsius.

Konon, dahulu kala, sebelum berpenghuni, tempat itu merupakan hutan belantara dan belum bernama. Pada suatu hari sampailah seorang pelarian dari Kerajaan Blambangan di tempat itu, di bawah sebuah pohon asam (dalam bahasa Jawa kuna, pohon asam disebut kamal). Dia bernama Buyut Nyami, seorang punggawa kerajaan yang pergi meninggalkan istana karena berselisih pendapat. Dia bermaksud hendak bertapa di Gunung Argopuro. Setelah selesai bertapa, Buyut Nyami berniat pulang ke Blambangan. Namun, karena usianya telah sangat lanjut, akhirnya dia menetap di desa tersebut, yang diberi nama Desa Kamal, sampai akhir hayatnya.

 

 

Asal-usul ta-buta’an

Pada suatu ketika, warga Desa Kamal dilanda paceklik, mengalami krisis bahan pangan selama enam tahun berturutturut. Apa saja yang mereka tanam tidak kunjung berbuah karena diserang hama wereng dan belalang. Masyarakat terpaksa memakan apa saja yang bisa dimakan. Masa sulit itu disebut laep panjhang.

Pada tahun keenam berlangsungnya laep panjhang, terjadilah suatu keajaiban. Sepasang suami-istri, dengan tangan terikat di pinggang, menari-nari berkeliling desa dengan diiringi tabuhan lesung yang biasanya digunakan untuk menumbuk padi. Sejak saat itu paceklik berangsurangsur hilang dan keadaan masyarakat pulih seperti sedia kala. Untuk menghindari terulangnya laep panjhang, seorang warga yang bernama Ki Samba membuat sepasang boneka ta-buta’an sebagai sosok simbolis dalam ritual Kadisah. Topeng wajah ta-buta’an laki-laki dibuat dari kayu suwis/waru, sedangkan topeng wajah perempuan dibuat dari kayu polai.

Masyarakat Desa Kamal sampai saat ini masih percaya dan menjunjung tinggi tradisi spiritual. Mereka percaya bencana, penyakit, kejahatan, dan malapetaka yang mengancam kehidupan ialah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara kehidupan alam nyata dan alam gaib. Untuk mencapai kebaikan, keselamatan, dan rezeki yang melimpah, masyarakat di desa tersebut menghadirkan prosesi tabuta’an dalam upacara adat mereka.

Ritual bersih desa yang dilaksanakan di Desa Kamal itu telah berusia cukup tua. Keluarga pemangku ta-buta’an mengaku sebagai keturunan Buyut Nyami yang ke-12. Tradisi ta-buta’an tetap dijalankan karena diyakini akan membawa berkah, sebaliknya akan membawa petaka jika ditinggalkan. Masyarakat berjuang keras agar ritual Kadisah tetap terselenggara meskipun dalam situasi sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan. Dengan didasari keyakinan dan spiritualitas tinggi, masyarakat Desa Kamal menyelenggarakan ritual dengan cara bergotong royong sehingga tidak memberatkan pihak-pihak tertentu, termasuk pemerintah desa.

 

 

Pelaksanaan ritual

Tahap pelaksanaan ritual bersih desa diawali dengan sejumlah laku spiritual oleh mereka yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan ritual. Sementara itu, mayoritas warga desa cukup melibatkan diri dalam beberapa tahap ritual, yaitu acara kirab atau pawai ta-buta’an. Dengan cara tersebut, mereka berharap dapat membantu kesempurnaan penyucian desa dari hal-hal yang mengotori dan mengganggu.

Pelaksanaan ritual tahunan Kadisah dibuka dengan kegiatan membuat sangghar di halaman rumah kepala desa dan menyiapkan isinya. Sangghar ialah wadah besar persembahan (sajen) yang dibuat dari bambu dan bertingkat. Wadah itu akan diisi beraneka macam hasil bumi (pala pendhem) dan kue-kue sebagai sajen.

Pada malam di hari pertama selalu diselenggarakan selamatan bersama warga seluruh dusun. Setiap orang wajib membawa nasi minimal dua bungkus, tukar antarwarga. Hal itu menyimbolkan kerukunan, saling menikmati hasil rezeki masing-masing.

Kegiatan utama ritual bersih desa dilaksanakan pada hari kedua. Setiap dusun mengundang tamu untuk diajak menyaksikan pelepasan sejumlah merpati (totta`an dhereh). Kegiatan itu menyimbolkan pelepasan petaka. Selanjutnya dilakukan ritual mengarak ta-buta’an dari ujung desa menuju ke halaman kepala desa. Setelah upacara penghormatan (sembahan) pada sangghar, ta-buta’an menari-nari dengan iringan musik tradisional, berjalan beriring-iringan, dan berakhir di halaman balai desa. Aktivitas itu menjadi penanda bahwa pelaksanaan panen raya musim kedua telah berakhir.

Pada malam di hari kedua acara penutup digelar, ditampilkan pertunjukan wayang kulit atau seni ludruk semalam suntuk.

Kedua jenis aktivitas tersebut merupakan simbolisasi rasa syukur seluruh warga desa atas segala kebaikan yang telah mereka peroleh dalam waktu setahun terakhir. Pelaksanaan aneka kegiatan fisik dan spiritual tersebut diharapkan dapat menjadikan mereka lebih dekat kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan meningkatkan kesadaraan masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Kehadiran sosok ta-buta’an di dalam ritual memiliki makna simbolis yang diyakini kesakralannya oleh masyarakat Desa Kamal. Bentuk lahiriah ta-buta’an menjadi simbol kedekatan antara masyarakat dan makhluk gaib di luar dunia nyata manusia. Maknanya makhluk gaib tersebut tidak menguasai manusia, tetapi manusialah yang menguasai mereka dan meletakkan mereka di tempat yang layak serta terhormat. Ta-buta’an beserta musik pengiringnya hadir tidak dalam kerangka seni pertunjukan murni, tetapi diberi muatan magis. Keberadaan kesenian itu tidak hanya menempati level hiburan, tetapi juga level simbolis yang merelasikan antara dunia nyata dan dunia gaib. Secara simbolis, kehadiran ta-buta’an juga dimaksudkan sebagai penghormatan kepada arwah para leluhur. Bentuk pertunjukan, gerak tari, serta musik pengiring dirancang agar tujuan pertunjukan tercapai. Oleh karena itu, meskipun pertunjukan ta-buta’an didominasi gerak tari dan iringan musik, kesan magis dan spiritual tetap dikedepankan.

Ritual Kadisah serta kesenian tabuta’an merupakan contoh konkret kemampuan masyarakat untuk menerima elemen-elemen budaya baru tanpa harus meninggalkan elemen budaya yang telah mereka miliki sebelumnya. Mereka bahkan mampu memunculkan elemen budaya baru yang dapat diterima masyarakat masa kini. Religiositas mereka tidak bersifat beku, tapi cair, mengalir, dan fleksibel. (M-4)
________________________________________


TENTANG PENULIS

M Ilham Zoebazary

Penulis, dalang kentrung, peneliti kebudayaan Pendalungan. Dosen di Prodi Sastra Inggris dan Prodi Televisi- Film Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. S-1 Sastra Inggris Unej, S-2 Kajian Media-Komunikasi Unair, S-3 Kajian Tradisi Lisan UGM. Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jember.
 

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya