Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
MENURUT penelitian global terbaru, sepertiga dari semua emisi gas rumah kaca buatan manusia terkait dengan makanan. Para peneliti melacak produksi rantai makanan, dari ladang, meja makan, hingga sampai ke tempat pembuangan sampah.
Menurut penelitian itu, pembukaan lahan dan penggundulan hutan, penggunaan pupuk, peternakan, dan limbah, semuanya berkontribusi pada emisi dari sistem konsumsi makan yang dilakukan 7,7 miliar orang di Bumi.
Sebelumnya memang telah banyak laporan yang mengukur dampak perubahan iklim dari makanan, namun penulis penelitian terbaru yang dipimpin oleh Pusat Penelitian Bersama Komisi Eropa mengatakan, mereka adalah yang pertama merangkum semua negara dan sektor, mulai dari produksi, pengemasan dan distribusi, hingga pembuangan limbah makanan.
"Sistem pangan membutuhkan transformasi," kata para peneliti kepada AFP, Selasa (9/3). Mereka berharap database akan membantu mengidentifikasi di mana tindakan paling efektif untuk mengurangi emisi.
Laporan tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Food pada Senin (8/3), mengacu pada database global baru yang memberikan perkiraan emisi gas rumah kaca sistem pangan dari tahun 1990 hingga 2015.
Selama periode itu, ia mencatat "pemisahan pertumbuhan populasi dan emisi terkait makanan", dengan emisi yang tumbuh lebih lambat daripada populasi. Tetapi ditemukan variasi yang luas di seluruh dunia, dengan beberapa negara dan wilayah mengalami peningkatan besar dalam emisi yang didorong oleh permintaan domestik dan ekspor.
"Hasil kami menguatkan temuan sebelumnya tentang bagian signifikan dari emisi sistem pangan," kata para peneliti.
Angka yang diperkirakan para para peneliti yakni 25% hingga 42%, lebih tinggi daripada angka Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC) sebesar 21 hingga 37%. Hal ini, menurut mereka, sebagian karena memandang secara lebih luas tentang sistem pangan global.
Penghitungan baru, misalnya, memperhitungkan hal-hal seperti memasak sebagai bagian dari konsumsi, serta pembuangan limbah.
Secara keseluruhan, laporan tersebut menemukan bahwa emisi sistem pangan mewakili 34% dari total keluaran gas rumah kaca pada tahun 2015.
Tingkatkan efisiensi
Sekitar setengah dari emisi ini adalah karbon dioksida, terutama dari penggunaan lahan, terutama pelepasan karbon dari deforestasi dan degradasi tanah organik, serta energi dari sejumlah proses seperti pengemasan dan transportasi atau distribusi.
Sepertiga dari emisi lainnya berasal dari gas metana, yang 28 kali lebih kuat daripada CO2 sebagai gas rumah kaca selama periode 100 tahun, telah dilepaskan oleh ternak seperti sapi, domba, dan kambing, serta dari produksi beras dan pembuangannya.
Sisanya sebagian besar adalah nitrogen oksida dari pupuk, meskipun laporan tersebut mengatakan bahwa gas berfluorinasi yang sering ditemukan dalam lemari es memainkan peran kecil tetapi terus berkembang.
Enam penghasil sistem pangan terbesar pada tahun 2015 adalah Tiongkok (13,5% dari total global), Indonesia dengan (8,8%), Amerika Serikat (8,2%), Brasil (7,4%), Uni Eropa (6,7%) dan India ( 6,3%).
“Sistem pangan global menjadi lebih intensif menggunakan energi dengan hampir sepertiga emisinya langsung dari konsumsi energi tersebut,” kata para peneliti.
Selain dari energi yang digunakan, emisi dari distribusi makanan juga meningkat. Laporan itu mengatakan transportasi (untuk mengangkut makanan) menyumbang 4,8% dari total emisi sistem pangan 2015 dibandingkan dengan 5,4% untuk pengemasan.
Para penulis penelitian itu menyerukan kebijakan untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi emisi dalam rantai pasokan, dan memungkinkan orang mengakses makanan yang lebih sehat.
Pada November lalu, sebuah studi di jurnal Science memperkirakan, jika dibiarkan emisi sistem pangan di masa depan akan dengan sendirinya mendorong meningkatnya suhu Bumi di atas ambang batas 1,5 derajat Celcius. Padahal, angka ini dipandang sebagai batas untuk menghindari dampak iklim yang menghancurkan pada tahun 2050.
PBB baru-baru ini mengatakan 17% makanan yang tersedia untuk konsumen di seluruh dunia pada tahun 2019, hampir satu miliar ton, dibuang dari rumah tangga, pengecer, institusi, dan industri perhotelan, jauh lebih banyak daripada yang diduga sebelumnya.
Masalah-masalah ini kemungkinan akan menjadi sorotan pada KTT Sistem Pangan Dunia PBB yang pertama, yang akan digelar akhir tahun ini. (AFP/M-4)
Mencairnya gletser memuci letusan gunung api yang lebih sering dan eksplosof, yang memperparah krisis iklim.
Penelitian terbaru mengungkap hilangnya hutan tropis menyebabkan pemanasan global berkepanjangan setelah peristiwa Great Dying 252 juta tahun lalu.
Pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca meningkat, anggaran karbon Bumi diperkirakan akan habis dalam waktu 3 tahun ke depan.
Meski dunia menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius, pencairan lapisan es di dunia tetap melaju tak terkendali.
Peningkatan suhu juga sangat dipengaruhi oleh emisi gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Penyebab Pemanasan Global: Faktor & Dampak Buruknya. Pemanasan global mengkhawatirkan? Pelajari penyebab utama, faktor pendorong, dan dampak buruknya bagi bumi. Temukan solusinya di sini!
INDONESIA memperkuat posisinya menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 yang ditegaskan dalam Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia.
KOMUNITAS Bidara di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT, melakukan kegiatan sosialisasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi para pemuda, pelajar, nelayan, petani, mahasiswa.
Pencairan gletser akibat perubahan iklim terbukti dapat memicu letusan gunung berapi yang lebih sering dan eksplosif di seluruh dunia.
Kemah pengkaderan ini juga mengangkat persoalan-persoalan lingkungan, seperti perubahan iklim yang mengakibatkan bencana alam.
"Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus menjadi vektor utama. Keberadaan dan penyebarannya yang meluas menjadikan arbovirus sebagai ancaman serius,”
Fenomena salju langka menyelimuti Gurun Atacama, wilayah terkering di dunia, menghentikan sementara aktivitas observatorium ALMA.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved