Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
“Ayo mupu bocah bajang, rambute abang arang.” (Mari mengajak anak bajang, rambutnya merah jarang).
Syair dolanan anak-anak bertajuk Mupu Bocah Bajang itu ditembangkan diiringi gamelan. Seiring dengan itu, boneka Nini Thowong yang dibopong seseorang mendadak seperti punya roh, hidup, bergerak ke atas dan ke bawah seperti anak kecil yang tengah melompatlompat. Ada aura mistis mengetarkan rasa di gerak Nini Thowong. Membuat wajah-wajah penonton semringah.
Itulah bagian awal pertunjukan Nini Thowong yang digelar Komunitas Seni Sabdo Budoyo (KSSB) Dusun Grudo, Desa Pajangrejo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebentuk teater rakyat yang berpusat pada boneka bambu yang ujungnya diberi batok kelapa, batangnya dililit jerami padi kering, diberi kain penutup tubuh, dan paes riasan menyerupai sosok perempuan.
Pertunjukan yang merupakan representasi masyarakat dalam pemertahanan budaya warisan nenek moyang yang mereka miliki ini populer disebut Nini Thowong. Nini bermakna wanita tua dan thowong berarti ‘wong-wong’ atau orangorangan kopong. Nini Thowong juga bisa berarti roh (nini-nini) yang menyusup ke boneka kopong.
Ada tiga tokoh berperan dalam pementasan di KSSB, yakni Suwardi, 77, Ketua KSSB; Sumardi, 80, koordinator gamelan; dan Paeran , 90, yang biasa tampil sebagai
‘dalang’ pertunjukan Nini Thowong.
Menurut Suwardi, Nini Thowong tenar di Dusun Grudo sejak 1938, diprakarsai sesepuh desa, Udisedo, Marto Jumar, dan Paenah. Biasanya dimainkan anak-anak perempuan saat purnama.
Tradisi pertunjukan ini terhenti saat pendudukan Jepang pada 1942 dan kembali dimainkan di masa Kemerdekaan dengan tambahan variasi berupa alat musik pengiring. Dulu permainan ini hanya diiringi tembang dolanan anak-anak, yaitu Mupu Bocah Bajang, dan Ilir-Ilir. Seiring perkembangan zaman, tradisi ini lantas diimbuhi musik gamelan sebagai pengiring syair yang ditembangkan.
Ada bermacam penyajian Nini Thowong di Yogyakarta. Bedanya, di Desa Pajangrejo, masyarakat masih menggunakan bahan alami untuk membuat bonekanya dan masih mempertahankan prosesi pementasan seperti diajarkan leluhur. Berbeda dengan di luar Pajangrejo, yakni penyajian Nini Thowong banyak mengalami perubahan.
Di Imogiri, Bantul, misalnya, Nini Thowong diimbuhi tarian saat pementasan. Batok kelapa sebagai dasar wajah berganti topeng plastik dan bambu sebagai badan boneka diganti bahan plastik. Berbeda dengan di Desa Pajangrejo. Walau beberapa kali mengalami kemandekan karena faktor situasi sosial dan bencana alam, Nini Thowong tetap dipertunjukkan sesuai aslinya sebagai Nini Thowong Tradisi.
Interaksi pertunjukan
Sebagai tradisi lisan, Nini Thowong tidak dapat dilepaskan dari komunitas pemiliknya. Komunikasi ini termanifestasi dalam bentuk pewarisan antargenerasi dan interaksi langsung antara pemain dan penonton. Untuk tahu proses penciptaan, tidak cukup hanya dengan menjelaskan unsur properti pementasan, tetapi juga reaksi penonton dan hal lain yang dilakukan pemain hingga tercipta sebentuk pertunjukan.
Pementasan Nini Thowong dimulai saat pawang Paeran dan pembawa boneka (Karsilah dan Sajiyem) mengambil Nini Thowong yang sudah didandani, serta sesajen, dari rumah Sumardi. Melewati jalan kecil dengan pencahayaan seadanya dari rumah-rumah sekitar, iring-iringan (Paeran di posisi terdepan, diikuti pembawa boneka dan pembawa sesajen) membopong boneka ke makam desa. Anak-anak ikut mengiring.
Sebelum memasuki makam, Paeran merapalkan mantra. Apa yang dirapal? Tak ada yang tahu. Paeran pun enggan memberi tahu. Tak seorang pun boleh mengenakan alas kaki, atau bicara satu sama lain, saat memasuki makam. Boneka diletakkan di pojok makam, di bawah pohon besar yang tumbuh di antara dua nisan. Posisi itu membuat Nini Thowong seakan diapit dua nisan. Paeran duduk di depan Nini Thowong. Dia lalu membakar kertas yang dibawanya. Bibirnya komatkamit. Tak jelas, kertas apa mantra apa yang dirapal. Sumardi bilang, “Itu rahasia pawang.” Usai mantra dirapal, terasa angin kencang berhembus dari belakang makam. Paeran mengarahkan senter ke atas pohon, seperti berkomunikasi dengan makhluk tak kasatmata. Senter dimatikan. Aneh, angin berhenti.
Paeran membakar dupa dan mendekatkannya ke tubuh Nini Thowong. Ia mengambil kertas dari sakunya, berisi simbolsimbol yang tak kami mengerti. Namun,
Paeran lancar melafalkan isi kertas. Dari sesajen, Paeran ambil bungkusan berisi bunga setelon, kumpulan bunga berisi tiga kuntum mawar merah, tiga melati, dan tiga kenanga.
Bunga setelon untuk mendatangkan roh anak-anak, itu diletakkan di bagian kepala serta ikat pinggang Nini Thowong. Tujuannya untuk mengunci roh agar tak lepas dari boneka. Kapan roh masuk ke tubuh Nini Thowong? Bila suhu pada badan dan kepala Nini Thowong terasa lebih hangat. Wajah Nini Thowong yang sudah diisi roh juga berwarna agak redup, sedangkan boneka yang belum dirasuki roh wajahnya cerah.
Prosesi pemanggilan roh berkisar dua puluh menit. Saat Pawang merasa roh telah merasuk, Nini Thowong diboyong keluar makam. Berbeda dari formasi awal, kini Nini Thowong di barisan terdepan, dilanjut pembawa sesajen, dan pawang di barisan belakang. Maksudnya? Agar pawang bisa mengawasi roh Nini Thowong.
Iring-iringan menuju lokasi pementasan, yang malam itu digelar di aula gamelan milik Sumardi. Warga, tua muda, sudah duduk-duduk di lokasi saat iring-iringan tiba. Nini Thowong diletakkan di tengah kerumunan wanita yang akan memegang boneka saat pertunjukan. Pemegang Nini Thowong dapat dilakukan siapa saja. Namun, malam itu dipegang Karsilah, Sajiyem, Kasiyem, dan Adisipar.
Diiringi bunyi gamelan, syair Mupu Bocah Bajang ditembangkan. Bukhori menabuh Gong, kendang ditabuh Sumardi, demung oleh Mujiran, Astino pada peking, Barjo dan Bayu pada saron. Sesekali penyanyi menepuk tangan meningkahi irama musik. Para wanita yang hadir untuk berlatih, atau siapa pun, bisa ikut bernyanyi mengiringi Nini Thowong.
Sesuai irama, gerakan Nini Thowong kadang ke atas, ke bawah, kadang berputar di atas kepala pemegang boneka, merepresentasikan keriangan anak kecil saat diajak bermain. Jika roh di dalam Nini Thowong merasa senang, gerakannya atraktif. Namun, bila kurang senang, lompatan Nini Thowong tidak akan terlalu tinggi atau justru diam.
Mupu Bocah Bajang, syair pembuka pertunjukan, juga disebut syair sambutan untuk roh Nini Thowong. Pada gerakan pertama dalam tembang pertama itu, kami kaget tersebab aura mistis yang ditimbulkan gerakan Nini Thowong. Sensasi metafi sik juga mengagetkan atau dirasakan penonton lainnya.
Usai Mupu Bocah Bajang, ditembangkan Bageya, Ilir-ilir, dan Ayo-ayo yang temponya lebih cepat, menjadikan Nini Thowong bersemangat. Melonjaklonjak, memutar-mutar tubuh, hingga tangannya menabrak kepala pemegang boneka. Ditembangkan pula syair Ela-elo, Parikan, Bowo, Witing Klapa, dan Godril. Usai syair Godril, musik dihentikan. Nini Thowong lalu mendekatkan dirinya pada Paeran. Mereka berkomunikasi.
“Nggih, sampun kesel? Nggih, sekedhap nggih,” ujar Paeran yang lantas mengambil kipas di sesajen. Nini Thowong dipersilakan bersandar di bahunya. Paeran mengipasi Nini Thowong yang kelelahan. “Sampun napa dereng?” tanya Paeran. Nini Thowong tak beranjak dari bahu Paeran, pertanda masih ingin beristirahat, Sikapnya manja bagai anak kecil yang minta dimanja orang tuanya. Penonton tertawa melihat tingkahnya.
Baru setelah agak lama, Nini Thowong bangkit kembali ke tengah lingkaran. Permainan dilanjutkan dengan tembang Sluku Bathok, Othok Kowok, Cao Gletak, Pungkur, Milang Kori, dan Caping Gunung. Syair-syair ini tak ditembangkan berulang-ulang, hingga usai syair Caping Gunung, Nini Thowong berhenti, dan seperti berbisik kepada Paeran
“Nggih, dicobi nggih,” ujar Paeran. Seakan menjawab kebingungan penonton, Paeran mengumumkan bahwa Nini Thowong akan diberi beberapa pertanyaan untuk menguji kecerdasannya. “Cobi, sing pundi ingkang asmanipun Mbak Fina?” tanya Paeran.
Nini Thowong mengayunkan badan berputar-putar di atas kepala pemegangnya dan berhenti tepat di depan wajah salah satu di antara kami, seraya menempelkan tubuhnya. Sontak, semua orang bertepuk tangan melihat kejadian ini. Tanpa diberi tahu, Nini Thowong menebak dengan tepat bahwa Fina yang dimaksud tak lain adalah saya (penulis). Bagaimana bisa?
Nini Thowong kembali menempelkan tubuhnya ke Paeran, yang lantas mengembalikan ke posisi awal, pertanda permainan akan dimulai kembali. Syair Pepeling ditembangkan. Ini syair penutup. Sebab usai musik mengiringi tembang Pepeling, Nini Thowong pun berhenti. Ia menatap Paeran yang juga menatapnya. Paeran menggerakkan tangan seperti mengambil sesuatu dari depan tubuh Nini Thowong.
“Uwis rampung,” ujar Paeran. Ini pertanda roh telah meninggalkan tubuh Nini Thowong. Paeran lalu mengambil bunga setelon yang terselip di pinggang Nini Thowong, meletakkannya kembali di sesajen.Permainan usai. Orang-orang berbincang sambil menikmati kudapan yang disediakan istri Sumardi, yang juga menawarkan buah pisang sesajen untuk hadirin santap. (M-4)
Hal yang harus dipertimbangkan dalam melakukan kegiatan adalan kualitas layanan serta ketersediaan anggaran
OJK Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Eko Yunianto menyebut pinjaman fintech peer to peer (P2P) lending (pinjaman online) pada Februari 2025 tercatat sebesar Rp1,148 triliun tumbuh 20,97%
Jalan Kaliurang, dengan nuansa sejuk dan pemandangan Gunung Merapi, juga menjadi salah satu latar penting dalam film Waktu Maghrib 2.
DIREKTORAT Reserse Kriminal Umum Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menetapkan JS, 46, agen gas bersubsidi sebagai tersangka kasus kepemilikan satwa dilindungi.
“Kami ingin kerja sama dengan hotel-hotel, apabila suatu saat ada makanan yang masih bagus tapi tidak terkonsumsi dengan baik, kami siap jemput bola,"
"Semuanya (yang sempat mengungsi) sudah kembali (ke rumah) sekarang lagi pembersihan bekas lumpur-lumpur itu,"
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved