Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
TIGA perempuan muda itu menari melenggak-lenggok sembari menyanyi di panggung Festival Glastonbury. Puluhan ribu penonton festival seni kontemporer yang rutin digelar di Somerset, Inggris, itu terpukau dan ikut bergoyang mengikuti alunan musik dangdut yang mengiringi penampilan tiga penyanyi tersebut. Biar mudah, kita sebut saja mereka Trio Cupa Cupit. Namun, yang jadi masalah ialah kapan peristiwa itu terjadi? Terus terang, walau cerita di atas cuma khayalan, saya sulit untuk menentukan tahunnya. Mungkin biar pas, Sandiaga Uno, selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, bisa mengira-ngira kapan patokan waktu idealnya, 2030 atau 2050?
Soalnya, Mas Menteri inilah yang ingin musik dangdut mendunia dan jadi identitas produk seni bangsa seperti halnya K-Pop maupun film-film Hollywood. Ia juga berharap UNESCO menetapkan dangdut menjadi warisan budaya dunia. Jadi, kalau Amerika Serikat punya Hollywood, Korea punya K-Pop, kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini, sudah saatnya Indonesia punya dangdut sebagai music of my country. Sebagai orang yang punya hajat, Sandi, yang pernyataannya dikutip berbagai media dan infotainment pada Kamis (18/2) itu, tentunya memiliki target kapan hal itu terwujud.
Terus terang, saya pribadi 100% mendukung rencana tersebut, terutama agar dangdut terkenal seperti reggae dari Jamaika. Kalau urusan diakui sebagai warisan dunia atau tidak, biarlah tuan-tuan dan puan-puan di badan PBB yang mengurusi pendidikan, keilmuwan, dan pendidikan (UNESCO) itu yang menilai. Dangdut, kata Sandi, berpotensi menyerap banyak tenaga kerja. Lapangan kerja yang ditawarkan industri musik ini, papar dia, bukan hanya merujuk pada pasarnya, melainkan juga kegiatan-kegiatan usaha yang terhubung dengan pertunjukan seni tersebut. Sebuah cita-cita yang mulia bukan? seperti halnya ekonomi Korea Selatan (Korsel) yang salah satunya kini ditopang drakor (drama Korea) dan K-Pop.
Saya berharap niat itu tulus dan serius, bukan sekadar retorika. Apalagi itu dilontarkan seorang pejabat negara yang tentunya memiliki power untuk menggerakkan orang-orang di bawahnya. Tinggal bagaimana dia menyiapkan langkah-langkah ke arah sana, entah bagaimanapun caranya. Jika perlu buat akademi dangdut betulan yang mengkaji musik itu secara akademis, entah dari sisi penulisan lirik ataupun pemasarannya, bukan seperti acara yang ada di salah satu televisi swasta. Kalau memang menganggap dangdut sebagai aset negara, perlakukan mereka yang terlibat dalam industri itu dengan semestinya, hingga tidak melulu merintih, merasa sebagai orang termiskin di dunia, pagi makan, sore tiada.
Soalnya, tidak dapat dimungkiri, selama ini dangdut kerap dianggap sebagai musik kelas bawah, musiknya kaum marginal. Sebelum menjadikannya musik kelas dunia, persepsi itu harus diubah. Bagaimana bangsa lain mau menyukai, jika bangsa sendiri saja tidak bangga dengan musik itu. Ter-la-lu, kalau kata Bang Haji Rhoma Irama, sang maestro dangdut. Ini tentunya juga butuh strategi, seperti halnya yang dilakukan para pelaku industri kreatif di Korsel ketika hendak mendongkrak K-Pop. Jika dibandingkan dengan dangdut, mereka sebetulnya tidak punya ciri khas khusus. Dasar musik mereka pop, terutama yang berkiblat ke Eropa. Itu sebabnya, kata kritikus budaya Korsel, Lee Moon-won, penampilan para penyanyi K-Pop mirip acara Kontes Lagu Eurovision yang didominasi musik tekno, tidak ada bebunyian instrumen lokal.
Hal yang membuat K-Pop sukses, menurut saya, terletak pada cara mereka mengemas dan memasarkan. Saya percaya, Sandi, yang berlatar belakang pengusaha, tentu juga paham marketing. Jika dangdut selama ini kerap dijadikan alat ‘pemasaran’ untuk menarik massa dalam setiap acara kampanye politik, mbok ya sekarang giliran mereka ‘dikampanyekan’ di pentas dunia.
Selamat menyongsong Hari Musik Nasional, salam dangdut.
Arah Pulang dari Orkes Bada Isya adalah lagu tentang kehilangan arah, tapi juga tentang keyakinan bahwa arah itu selalu ada.
Kata Nang, yang diambil dari Bahasa Batak, merupakan panggilan sayang untuk seorang perempuan—bentuk pendek dari Nangku yang berarti sayangku atau cintaku.
Melalui single Detik Menit, Sabarian ingin mengajak pendengarnya untuk menghargai setiap detik, menit, dan hari yang dihabiskan dengan orang tercinta.
Tonewaves memperkenalkan single terbaru berjudul Awal — lagu pembuka dari rangkaian proyek album mereka bersama Pro-M.
Dipengaruhi oleh musisi genre-bender seperti Travis Scott dan Kid Cudi, No Chill menempatkan Joony di garis depan gelombang baru hip-hop alternatif.
Bernuansa atmosferik yang menghantui, single All At Once dari Shye membahas rasa hancur sunyi yang hadir akibat patah hati.
IPO Bootcamp 2025 hadir di Jakarta bersama Sandiaga Uno dan para praktisi bisnis untuk membekali pelaku usaha dengan strategi meningkatkan valuasi hingga 10x dan mempersiapkan IPO.
Lalu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, dan mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto
DALAM rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2025, Rumah SandiUno Indonesia (RSI) menggelar acara RSI Fun Run 2025.
Yayasan Indonesia Setara (YIS) berkolaborasi dengan Kitaoneus.asia dan Refo menghadirkan pelatihan pemasaran digital bertajuk Saatnya Difabel Setara.
MESKI tak lagi berada di dalam pemerintahan, perhatian Founder Yayasan Indonesia Setara (YIS), Sandiaga Uno terhadap masyarakat desa, khususnya kalangan petani terus ditunjukkan.
ADA empat nama yang muncul untuk dicalonkan menjadi kandidat ketua umum PPP, dua dari dalam internal partai dan dua dari luar. Dari internal ada dua nama yaitu Sandiaga Uno dan Taj Yasin.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved