Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Memoar Digital

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
17/1/2021 00:35
Memoar Digital
Adiyanto Wartawan Media Indonesia.(MI/Ebet)

KETIKA Belanda berada dalam pendudukan Nazi Jerman di masa Perang Dunia II, Anne Frank, perempuan keturunan Yahudi-Jerman, rajin mencatat aktivitas kesehariannya selama dalam masa persembunyian. Ketika itu, dia dan keluarganya ngumpet di suatu ruangan di balik rak buku ayahnya. Guna mengelabui tentara Jerman, mereka ingin memberi kesan telah meninggalkan apartemen kecil yang sekaligus merangkap kantor tersebut. Untuk keperluan kebutuhan sehari-hari, keluarga ini dibantu sejumlah karyawan ayahnya. Catatan gadis berusia 13 tahun selama kurun 1942-1944 itu, kelak menjadi salah satu dokumentasi berharga tentang periode pendudukan Nazi di Belanda.

Entah siapa yang membocorkan, Anne dan keluarga akhirnya ditangkap Gestapo pada Agustus 1944 dan dikirim ke kamp konsentrasi Auschwitz untuk menjalani kerja paksa. Setahun kemudian, dia, kakak, serta ibunya wafat lantaran kelaparan dan penyakit tifus. Hanya ayahnya, Otto, yang ditahan di tempat terpisah, selamat. Setelah perang, Otto menerima setumpuk kertas berisi catatan harian putrinya dari salah seorang bekas pegawainya. Catatan harian itu kelak diterbitkan menjadi buku berjudul The Diary of a Young Girl (versi Inggris). Buku yang telah diterjemahkan ke lebih dari 70 bahasa itu, menjadi salah satu buku fenomenal di abad ke-20.

Sebagai orang yang belajar sejarah (tepatnya pernah kuliah di jurusan sejarah) dan kebetulan berprofesi sebagai wartawan, saya sadar wabah korona ini merupakan peristiwa besar dan penting yang kelak terpatri dalam memori kolektif mereka yang mengalaminya, seperti halnya Perang Dunia II atau era Depresi Besar yang melanda Amerika Serikat dan berdampak luas, pada 1930-an. Itu sebabnya ketika pandemi ini merebak, sempat terbesit keinginan mencatat perkembangan wabah ini dari hari ke hari, termasuk aktivitas saya dalam menjalaninya. Seorang kawan malah sempat mengajak menulis buku tentang pagebluk ini. Namun, hingga wabah ini berlangsung hampir setahun, semua gagasan itu tak pernah terwujud.

Saya memang bukan orang penting. Bukan dokter, bukan pula pejabat, apalagi pesohor seperti Raffi Ahmad. Namun, bukankah sejarah tidak selalu harus bercerita tentang para pembesar? Tujuan saya mencatat soal pandemi ini ialah sekadar mendokumentasikan periode muram yang sekaligus telah membuat dunia gonjang-ganjing ini, minimal untuk cerita cucu-cicit saya kelak. Atau siapa tahu beberapa dekade mendatang ada mahasiswa/mahasiswi yang ingin membuat skripsi tentang perspektif atau dampak pandemi di kalangan wartawan, misalnya. Dengan begitu, catatan saya bisa jadi salah satu referensi, who knows.

Namun, untungnya ini era digital. Meski saya gagal mencatat, momen itu tidak terlewat begitu saja. Media sosial, melalui mesin algoritme pintarnya, telah merekam arsip aktivitas kita dalam menjalani krisis yang terjadi ini melalui unggahan di dunia maya, entah itu dalam bentuk visual (gambar/video) maupun teks. Fenomena ini sebetulnya juga menarik untuk kajian cultural studies maupun psikologi. Bagaimana, misalnya, manusia memperlakukan Instagram yang dasar tujuannya dibuat selaras dengan ide liberal untuk mengumbar kesenangan, keindahan, dan kebahagian, saat menjalani krisis.

Saya pun iseng meng-scroll lagi unggahan di feed selama pandemi ini. Di situ umumnya ada foto tanaman, buku-buku yang tergeletak di meja, dan saya yang sedang berjemur atau melayat. Nah, bagaimana dengan Anda? Jika penasaran, coba cek lagi unggahan Anda, jangan-jangan di situ ada juga kelakuan seperti Raffi Ahmad; kumpul-kumpul tanpa menjaga jarak dan tidak mengenakan masker. Malu ah, apalagi jika Anda juga sudah ikut-ikutan mengkritik ayah Rafhatar yang dijuluki ‘Sultan Andara’ itu, terlepas apakah Anda pesohor, buzzer, atau bukan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik