Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Pelarian Semu

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
08/11/2020 02:55
Pelarian Semu
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

JIKA hari ini kita melihat media sosial, seperti Facebook, Youtube, atau Instagram, pasti ada saja yang mengunggah foto atau video orang sedang berlari atau bersepeda. Ya, kedua olahraga ini belakangan memang tengah digandrungi masyarakat di kota besar, bahkan sebelum ada wabah korona.

Namun, selama pagebluk ini, kegiatan itu sedikit dimodifikasi. Lomba maraton atau setengah maraton yang biasanya digelar di jalanan, kini pindah dunia maya. Untuk menghindari kerumunan, peserta berlari mandiri. Tempatnya pun bebas sesuka hati, bisa sambil menikmati pemandangan gunung, sawah, atau pantai. Nanti jarak dan catatan waktunya tercatat secara virtual. Virtual Run, istilah kerennya.

Tidak ada yang salah memang dengan orang berlari atau bersepeda. Mungkin semacam pelarian setelah suntuk didera rutinitas kerja. Meski Motivasi ini pun sebetulnya masih bisa dipertanyakan. Setelah capek kerja, kok mau-maunya mengeluarkan energi berlebih di akhir pekan? Atau ini semua demi kesehatan? Rasanya, umumnya yang dikejar bukan itu. Mereka juga bukan ingin mengikuti jejak pelari Eduardus Nabunome atau pembalap Tonton Susanto. Sekadar latah ikut tren dan demi eksistensi. Buktinya ada yang rela beli medali meski tidak pernah mampu mencapai fi nis di ajang lomba. Sekadar koleksi buat pamer.

Begitu pun mereka yang bersepeda berombongan sambil bawa-bawa kamera. Buat apa coba kalau tujuannya bukan untuk diunggah di medsos? Perilaku mereka kadang juga menyebalkan. Mentang-mentang sepedanya ringan, ngebut sesukanya. Sudah seperti rombongan penggemar motor besar, ogah diatur di jalan. “Lebih galak mereka kalau diklakson,” keluh seorang kawan.

Dalam bukunya The Society of the Spectacle, pemikir Prancis, Guy Louis Debord bilang masyarakat konsumen saat ini tak lain ialah masyarakat tontonan, yakni komoditas menjajah hampir seluruh sisi kehidupan, termasuk olahraga, kecantikan, dan sebagainya. Banyak orang melepaskan energi dan ekses-ekses dalam tubuh di pusat kebugaran (gym) atau ajang perlombaan demi memperoleh penampilan yang enak dilihat. Cantik, bugar, dan seksi, sekadar jadi komoditas. Semua itu untuk siapa? Netizen?

Perilaku ini semakin dimanjakan sejak hadirnya media sosial. Berbagai platform, seperti Facebook, Youtube, dan Instagram menjadi etalasenya. Manusia seolah ingin menjadi pusat dunia dan orang lain mesti tahu apa yang ia perbuat. Bahkan, doa yang semestinya khusyuk dilakukan dalam hening, kini bertebaran dalam keriuhan lini masa bersama aneka resep masakan dan tanaman. Dinding Facebook seakan jadi tembok ratapan. Seolah Tuhan perlu dijangkau lewat medsos.

Harus diakui, sejak hadirnya internet, laku hidup sebagian masyarakat kini memang semakin aneh dan lucu. Lihat kebakaran atau kecelakaan di jalan, misalnya, langsung mengeluarkan kamera, bukannya menolong. Hidup seolah hanya untuk menunggu like, share, and comment. Malas merenung dan berkontemplasi. Mbok ya, sesekali mikir, kata Cak Lontong.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik