Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Istilah Baru (lagi) dari Kemenkes

Riko Alfonso Asisten Redaktur Media Indonesia
30/8/2020 03:15
Istilah Baru (lagi) dari Kemenkes
Riko Alfonso Asisten Redaktur Media Indonesia(Dok. Pribadi)

ENAM bulan. Setidaknya sudah enam bulan rakyat Indonesia dilanda pandemi korona (covid-19), terhitung sejak Indonesia pertama kali mengonfirmasi kasus covid-19 pada Senin, 2 Maret 2020. Akan tetapi, selama masa pandemi ini, bukan hanya jumlah korban saja yang meningkat, jumlah istilah seputar korona pun turut berkembang.

Dalam kurun waktu 6 bulan, beragam kata dan istilah bermunculan terkait dengan kasus pandemi korona ini. Bahkan dalam laman Badan Bahasa (badanbahasa.kemdikbud.go.id) tercatat sedikitnya 40 istilah asing telah dipadankan Badan Bahasa terkait dengan virus korona ini.

Akan tetapi, sayangnya, banyaknya istilah terkait kasus korona itu tidak cukup mampu menggerakkan masyarakat untuk sadar akan bahaya covid-19. Hal ini disayangkan mengingat faktor informasi merupakan salah satu kunci penting penanganan pandemi covid-19.

Di tengah kondisi minimnya pemahaman masyarakat tentang istilahistilah seputar covid-19, muncul usaha untuk kembali mengganti beberapa istilah itu. Pada tanggal 13 Juli 2020, terbit Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 ( Covid-19). Dalam KMK itu, beberapa istilah seperti pasien dalam pengawasan (PDP) berubah menjadi kasus suspek, orang dalam pemantauan (ODP) diganti menjadi kontak erat, dan orang tanpa gejala (OTG) diganti menjadi kasus konfirmasi.

Selain istilah-istilah itu, dalam KMK juga tercantum istilah baru, yakni kasus probable, pelaku perjalanan, discarded, selesai isolasi, dan kematian.

Sebelumnya, pemerintah juga telah mengganti istilah ‘new normal’ menjadi ‘adaptasi kebiasaan baru’. Melalui juru bicara penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, diakui bahwa istilah new normal yang sering digunakan selama pandemi itu merupakan diksi yang salah.

Lalu apa dampak penggantian istilah seputar korona dalam penanganan pandemi covid-19? Dilansir dari Detikhealth (15 Juli 2020), disebutkan ada 4 dampak dari adanya pergantian istilah itu. Pertama, penggantian istilah dapat memperbaiki data statistik korona, terutama pada kasus angka kematian. Kedua, penggantian istilah dapat memastikan penanganan kasus korona menjadi lebih baik. Ketiga, penggantian istilah berdampak pada perubahan data statistik. Hal itu karena kasus ODP dan PDP yang biasanya dicatat terpisah, kini digabung dalam kategori kasus suspek.

Akan tetapi, pendapat berbeda muncul dari ahli bahasa dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Autar Abdillah. Menurut Autar, penggantian istilah korona malah membuat istilah semakin tidak jelas bahkan menakutkan. Menurutnya, tidak semua riwayat perjalanan seseorang memengaruhi masuknya virus. Selain itu, dalam istilah baru tersebut, orang yang ISPA tiba-tiba masuk golongan suspek. Hal itu tentu saja malah menjadi menakutkan.

Menurut saya, mengganti istilah baru dengan tujuan agar lebih spesifik tentu saja tidak dilarang. Akan tetapi, perlu kiranya memperhatikan pula pola pikir masyarakat umum. Seharusnya pemerintah lebih menyederhanakan istilah untuk masyarakat agar dapat dengan mudah dimengerti setiap orang, bukan malah menambah keruwetan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya