Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Ondel-Ondel Betawi, Warisan Budaya yang Kini Telantar di Jalan

Heryus Saputro Samhudi
05/4/2020 06:45

“ADA ondel-ondel!”

“Ada ondel-ondel!”
“Ondel-ondel ngamen!”

Begitu teriak anak-anak di gang rumah saya di Tangerang Selatan. Mereka serentak berlari menyongsong boneka raksasa yang tengah ‘menari-nari’ di keramaian jalan. Boneka yang menari karena ada orang di dalamnya itu berputar-putar, diiringi irama musik dari gerobak yang didorong seorang pria.

Seorang perempuan muda berbusana tank top plus celana sebetis mengasongkan kaleng biskuit bekas pada orang-orang di sepanjang jalan. Sebagian cuma mengangkat tangan, isyarat tak bisa menyumbang. Sebagian lain merogoh kocek dan mencemplungkan keping recehan atau lembaran Rp2.000 ke dalam kaleng.

Inikah pertunjukan ondel-ondel Betawi yang pada  2013 tercatat menjadi WBTB Indonesia dan 2017 jadi bagian dari delapan ikon Jakarta.

“Bonekanya memang ondel-ondel Betawi, tapi pertunjukannya, apalagi busana pelaku-pelakunya enggak karuan gitu, bukan adat istiadat orang Betawi,” ungkap seorang teman di Kantor LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) Jakarta Selatan.
“Persisnya orang-orang itu cuma memanfaatkan ondel-ondel Betawi buat ngamen, tanpa tahu bagaimana pertunjukan seni ondel-ondel sesungguhnya,” sambungnya.
Masalahnya ondel-ondel ngamen itu ratusan jumlahnya, tersebar di Jabodetabek, bahkan hingga ke Rangkasbitung di Lebak, Banten, Karawang dan Cianjur di Jawa Barat. Ondel-ondel memang jadi beken di luar Betawi, tapi sekaligus dirugikan karena (akhirnya) ondel-ondel ngamen itu disangka seni pertunjukan ondel-ondel yang menjadi WBTB Indonesia.

 

Caling yang hilang

Ondel-ondel adalah seni pertunjukan yang kerap ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat di ranah budaya Betawi, personifikasi sosok leluhur atau nenek moyang, yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu kampung dari bahaya.

Ondel-ondel berbentuk boneka besar setinggi 2,5 meter bergaris tengah lebih kurang 80 cm. Rangkanya dari anyaman bambu yang dibentuk hingga mudah dipikul atau digotong dari bagian dalam. Rangka dilapisi kain atau pakaian. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala terbuat dari ijuk. Pada rambut ondel-ondel ditancapkan sejumlah hiasan kembang kelapa.

Ondel-ondel umumnya tampil sepasang. Namun, seperti diungkap Benyamin Sueb dalam syair lagu Ondel-Ondel, kadang dihadirkan juga sosok anak di antara emak dan babe. Wajah ondel-ondel laki- laki biasanya dicat merah, sedangkan wajah ondel-ondel perempuan berwarna putih.

Yahya Andi Saputra, ketua LKB yang juga ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta, menyebut wajah ondel-ondel laki-laki sudah berubah dari wajahnya tempo doeloe. “Dulu kan ondel-ondel hadir antara lain sebagai bagian dari upacara menolak bala. Menolak wabah penyakit cacar yang sangat menghantui kaum perempuan karena wajah cantik bisa jadi bopeng atau penolak hama tikus dan wereng yang merusak padi di sawah,” ucap Yahya yang juga sejarawan, penyair, dan pedongeng sahibul hikayat.

Karena fungsi kulturalnya itu, puak budaya Betawi masa lalu menampilkan ondel-ondel dalam sosok besar dan menakutkan. “Tampang ondel-ondel laki-laki dihiasi dua pasang caling; gigi taring yang nongol di kiri-kanan mulutnya,” papar Yahya. Betapa pun yang laki-laki tampil menyeramkan, tapi wajah ondel-ondel perempuan tetap cantik dan murah senyum.

Perubahan penampilan terjadi awal abad ke-20 ketika budaya agraris bergeser ke budaya kota yang industrialis. Ondel-ondel penolak bala atau gangguan roh halus gentayangan mulai difungsikan sebagai penyemarak pesta-pesta rakyat dan penyambutan tamu terhormat pada peresmian gedung untuk menghibur Penganten Sunat atau sebagai bagian arak-arakan Palang Pintu dalam adat perkawinan Betawi. Perubahan wajah mencapai klimaks di zaman Gubernur Ali Sadikin pada era 1970-an, yakni seni ondel-ondel dibangkitkan kembali.

Betapa pun derasnya arus modernisasi, seni  pertunjukan ondel-ondel terus bertahan. Puak-puak budaya terus menjaganya. Ondel-ondel kini lazim menghiasi ruang-ruang khusus di gedung-gedung milik Pemda DKI Jakarta. Bahkan di Kemayoran, kini mejeng sepasang patung ondel-ondel yang ukurannya masuk rekor Muri.

 

Kesamaan budaya

Ondel-ondel Betawi bukan satu-satunya sosok boneka budaya dalam tradisi di Indonesia. Banyak daerah juga punya ‘ondel-ondel’. Di Pasundan ada badawang yang hadir sejak pasca-Perang Bubat dan biasa dihadirkan dalam atraksi Angklung Reog.

Seni jathilan di Jawa Tengah, kerap juga menghadirkan boneka besar bernama gendruwo gedhe. Di Bali ada barong landung yang dibawa Raja Airlangga saat menyelamatkan diri. Banyuwangi punya seni bantengan, boneka banteng yang senimannya kerap kesurupan roh.

Dalam sendratari Reog Wengker dari Ponorogo, Jawa Timur, juga ada sepasang mahluk halus bertubuh (boneka) raksasa, pengganggu perjalanan Singa Barong, yang lalu dikutuk menjadi gagak atau merak raksasa. Namun, dalam perkembangannya, tokoh tak begitu penting ini dihilangkan hingga Reog Ponorogo pun tampil tanpa ‘ondel-ondel’.

Lepas dari persamaan di atas, Yahta sepakat pertunjukan seni ondel-ondel dkk itu sudah ada sebelum tersebarnya Islam di Pulau Jawa. Ondel-ondel diiringi live music yang dimainkan para nayaga seirama langkah ondel-ondel saat berkeliling ataupun berdiam di satu panggung atau tanah lapang.

Budaya agraris di Jakarta makin menghilang, berganti budaya kota yang mengedepankan industri. Ondel-ondel pun jarang digelar di upacara tolak bala atau sedekah bumi. Di lain pihak, minat orang akan hiburan kian melebar dengan hadirnya bentuk-bentuk seni baru.
Namun, grup ondel-ondel terus bertahan, bersaing dengan pertunjukan musik orkes atau band, bahkan pertunjukan film layar tancap. Ondel-ondel bertahan hidup dengan menghibur Penganten Sunat atau jadi bagian atraksi Palang Pintu dalam hajatan adat perkawinan Betawi.

Apa jenis alat musik pengiring ondel-ondel? Tergantung dari tiap-tiap rombongan. Ada yang diiringi tanjidor, seperti ondel-ondel pimpinan Gejen, Kampung Setu. Ada yang diiringi pencak silat  seperti  Beringin Sakti pimpinan Duloh, sekarang dipimpin Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi bende, ‘remes’, ningnong, dan rebana ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Lamoh dari Kalideres.

Pentas ondel-ondel Betawi biasa diiringi atraksi pencak silat dan musik pengiring berupa dua buah gendang dimainkan dua orang, dua buah kentungan dimainkan dua orang, satu buah rebana/kecrek/kicrik dimainkan satu orang, satu buah gong dimainkan satu orang, satu buah tekyan/biola Betawi yang dimainkan satu orang, dan satu orang melakukan pencak silat.

Dengan musik lengkap, pentas ondel-ondel terdiri atas belasan orang, umumnya remaja 13 – 18 tahun. Pada 2010, saya masih menyaksikan pentas ondel-ondel sebagaimana format di atas.

Kini justru ‘ondel-ondel ngamen’ yang dominan, dengan musik yang kerap bukan lagu Betawi dan busana pengamennya yang ala kadarnya, jauh dari laku seniman yang sedang mengolah laku budaya. Ondel-ondel dimanfaatkan cuma alat (maaf) mencari uang.
“Lumayan hasilnya ketimbang ngojek,” kata Sofie di Kampung Kukusan, Depok, Jawa Barat. Bersama suami dan teman, ia ‘menjajakan’ ondel-ondel plus boks music yang disewa dari ‘bos’. Pemanggul ondel-ondel mendapat pelatihan kilat.
“Sewa ondel-ondel Rp100.000. Jika tidak hujan, Rp500 ribu sih dapat. Setelah dipotong uang sewa plus keperluan makan-minum, sisa hasil dibagi tiga. Lumayan buat beli susu anak dan bayar sewa petakan,” kata Sofie.

Bos yang dimaksud ialah kepanjangan tangan perajin ondel-ondel di Senen, Jakarta Pusat, yang populer sebagai kampung ondel-ondel. Bos-bos membeli atau menyewa ondel-ondel dari para perajin, lantas membawanya ke daerah masing-masing untuk disewakan lagi kepada anak-anak muda yang mau ngamen, nyaris tak mengajarkan nilai apa pun. Malah masyarakat jadi salah kaprah akan seni pertunjukan ondel-ondel.
 

Seniman memang tak mungkin melulu hidup untuk seni. Menghidupkan tradisi juga harus diimbangi hasil yang menghidupi seniman. Dibutuhkan sikap arif dan bijak dari segenap pemangku kepentingan budaya Betawi, misalnya, dengan memberi arahan terus-menerus kepada masyarakat luas ihwal boneka ondel-ondel dan seni pertunjukannya. Para ‘pemain’ di lapangan (perajin, bos, pengamen) perlu didekati untuk sama-sama menghadirkan ondel-ondel Betawi sebagai seni pertunjukan yang khas dan bermartabat. Salam budaya. (M-4)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya