Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Dilema di Tengah Pandemi, Antara Pengawasan dan Hak Privasi

Abdillah Marzuqi
04/4/2020 08:00
Dilema di Tengah Pandemi, Antara Pengawasan dan Hak Privasi
Tentara Jerman menguji penggunaan aplikasi pelacakan yang bertujuan untuk memerangi penyebaran virus korona,( AFP/Ismael Akbar /BUNDESWEHR German Army)

BANYAK negara menggunakan berbagai cara untuk mengawasi warga mereka guna mengantisipasi penyebaran virus korona. Salah satunya dengan menggunakan aplikasi dalam telepon genggam. Namun, cara ini  membawa kekhawatiran terhadap perlindungan privasi pengguna. Apalagi ketika aplikasi itu diwajibkan pemerintah.

Salah satu contoh adalah kebijakan pemerintah Hong Kong. Setiap penumpang dari penerbangan internasional diinstruksikan untuk menginstal aplikasi StayHomeSafe dan memakai gelang tangan yang terhubung dengan aplikasi.

Dilansir dari Aljazeera, peneliti Universitas St Andrews, Janis Wong, tiba di Bandara Hong Kong pada 22 Maret. Ia disuguhi kertas informasi tentang aplikasi tersebut. Ia dilarang meninggalkan rumah sampai batas waktu tertentu dan diberi nomor panggilan darurat.

Wong menunjukkan tangkapan layar aplikasi yang meminta izin berbagai hal yang lebih banyak dari biasanya. Izin aplikasi ponsel pintar biasanya mencakup fungsi tertentu.

"Sehubungan dengan StayHomeSafe, tidak jelas izin penyimpanan seperti apa. Karena saya belum diminta untuk mengambil gambar atau mengunggah gambar melalui aplikasi," kata Wong.

Aplikasi StayHomeSafe dimaksudkan agar mereka yang berada dalam status pengawasan dapat dilacak pergerakannya. Aplikasi itu memetakan jejak lokalitas. Jika penggunanya melampaui batas tertentu, akan diperingatkan melalui aplikasi tersebut.

Di wilayah lain, ada pula langkah pengawasan lebih intrusif. Bahkan mampu mencatat kontak, nama, dan nomor identitas diri.

"Saya menghabiskan 24 jam setelah mendarat di Shanghai dalam pusat pengujian virus korona. Kami tidur di kursi sebelum diizinkan pulang. Ada alarm di pintu kami yang hanya bisa dibuka empat kali sehari untuk mengumpulkan makanan dan membuang sampah," ujar salah seorang jurnalis, Michael Smith.

Sedangkan di Korea Selatan, pelancong luar negeri tidak diperbolehka masuk jika mereka tidak mengunduh aplikasi karantina yang diwajibkan pemerintah. Pelacakan GPS pada ponsel juga dilakukan untuk memantau pergerakan.

Ketika tiap negara berperang melawan penyebaran covid-19, hak asasi manusia berada dalam risiko serius. Meski demikian, masyarakat saat ini dinilai permisif terhadap metode pengawasan intrusif karena takut covid-19.

"Di Jerman, misalnya, sejumlah orang bahkan menuntut diberlakukannya jjam malam karena mereka melihat orang lain masih mengadakan pertemuan dan bahkan berpesta di tempat umum," kata peneliti di Vrije Universiteit Brussel, Marcus Michaelsen.

"Oleh karena itu, tidak sulit membayangkan bahwa orang akan mudah menyerahkan hak privasi mereka dalam upaya melacak dan memantau penyebaran virus, dengan harapan agar bisa kembali ke kehidupan normal seperti sebelumnya," tambahnya.

Lembaga kajian privasi, Privacy International menyebut banyak kebijakan yang bisa dikategorikan sebagai serangan terhadap kebebasan.

"Anda bisa memaksa seseorang untuk melakukan karantina dengan mengarahkan moncong senapan penembak jitu, tetapi itu tidak berarti kita harus merayakan cara itu dalam menanggapi krisis," ujar Direktur Advokasi dari Privacy International, Edin Omanovic.

Hal yang paling dikhawatirkan oleh para pemerhati HAM adalah penyalahgunaan untuk kepentingan politik. Selain itu, protokol kebijakan covid-19 rawan tetap diberlakukan, bahkan setelah wabah itu mereda. M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya