Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Asuh Anak dan Kebudayaan

Liliek Dharmawan
07/4/2019 00:40
Asuh Anak dan Kebudayaan
Berlatih di aula panti.(MI/Liliek Dharmawan)

MENJELANG sore, musik gamelan terdengar mengalun dari ruangan tengah Panti ­Asuhan Dharmo Yuwono di Purwokerto, Jawa Tengah (Jateng).

Anak-anak terlihat mengikuti gerak­an sesuai dengan musik gamelan. Sesekali guru tari yang berada di depan memberikan aba-aba. Kiri, kanan, berputar. Sementara itu, sejumlah orangtua yang mengantarkan anaknya terlihat menonton latihan anaknya.

Itulah sanggar tari bernama Dharmo Yuwono, sesuai dengan nama panti asuhan. Sanggar itu didirikan pasangan suami istri Kamaru Syamsi pada 1979. Adapun panti asuhan telah berdiri jauh sebelumnya, yakni pada 1955. Dari sanggar itu telah dilahirkan ribuan penari. Mereka ada yang setahun, dua tahun, atau sampai tuntas kursus selama lima tahun.

“Waktu itu bersama almarhum bapak, saya punya inisiatif mendirikan sanggar tari. Kebetulan bapak juga sebagai pengelola panti, kemudian memanfaatkan ruang aula berukuran sekitar 7 meter x 13 meter sebagai tempat latihan sampai sekarang. Sudah banyak para penari yang diluluskan. Ribuan jumlahnya. Umumnya mereka anak-anak di luar panti. Kalau anak-anak panti, wajib ikut. Kalau penghuni panti gratis, tetapi mereka yang dari luar membayar kursus Rp75 ribu, (dengan) Rp25 ribu di antaranya untuk tabungan pada saat pentas akhir tahun,” jelas Sujiatun atau Ny Kamaru Syamsi kepada Media Indonesia pada Kamis (21/3).

Tidak hanya sanggar tari, pekerja, juga Panti Asuhan Dharmo Yuwono ada yang memiliki jiwa seni dengan membuat kerajinan wayang. “Iya, saya sebagai pekerja di panti asuhan juga menjadi perajin wayang. Banyak yang datang ke sini untuk membeli wayang. Jadi, di Dharmo Yuwono itu selain panti asuhan juga tempat nguri-uri kebudayaan khas, di antaranya adalah tarian klasik dan pembuatan wayang kulit,” kata Joko Purwanto, perajin wayang tersebut.

Sementara itu, Ketua Sanggar Tari Dharmo Yuwono Carlan mengatakan, anak-anak yang ikut serta dalam kursus tari, biasanya usia SD. Mereka dialah generasi Z atau postmillenial. “Setiap tahunnya, antusiasme warga yang ingin anaknya kursus menari di sini cukup tinggi.
Sebetulnya, ini upaya agar budaya jangan hilang ditelan zaman. Anak-anak itulah yang akan melanjutkan melestarikannya,” kata Carlan.

Itulah Panti Asuhan Dharmo Yuwono yang berbeda dengan panti-panti lainnya. Tidak semata menampung anak-anak yatim, yatim piatu, atau keluarga tidak mampu, tetapi juga memiliki visi lain, yakni melestarikan budaya. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya