Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Lakon Lama Alur Baru

Abdillah M Marzuqi
18/3/2019 17:35
Lakon Lama Alur Baru
(MI/Abdillah)

Sudah tidak bisa dipungkiri wahyu cakraningrat diterima Abimanyu. Putra Arjuna dan Subadra ini mendapatkannya melalui lomba dengan dua ksatria lainnya, Samba dan Lesmana.

Kisah ini sudah menjadi pakem dalam pewayangan. Tidak ada yang meragukan atau mencoba mengubah akhir ceritanya. Namun kali ini  Wayang Orang Sriwedari mencoba menghadirkan lakon itu dengan nuansa baru dalam Cakraningrat yang dipentaskan di Gedung Pewayangan Kautaman Jakarta. Minggu (17/3).

Wahyu cakraningrat adalah wahyu raja. Barang siapa yang mendapatkan wahyu cakraningrat itu akan menjadi raja dan menurunkan raja. Ada banyak keturunan Dinasti Bharata, tetapi hanya satu yang menjadi raja Hastina. Berlimpah orang yang berwibawa dan punya dukungan masa, tetapi hanya satu yang akan menjadi kepala negara.

Mereka tidak hendak menghadirkan sosok Abimanyu yang serta merta menerima wahyu cakraningrat dengan prosesi pertapaan yang sempurna. Pentas itu justru menghadirkan peran tokoh yang jarang mendapat porsi besar dalam pentas lain dengan judul sama.

"Pada umumnya Cakraningrat yang mendapatkan Abimanyu, tapi pada cerita yang sering digelar itu memang tidak muncul karakter-karakter yang ingin bertapa yang ingin mendapatkan wahyu cakraningrat," terang sutradara Billy.

Pembaruan itu menjadi pilihan Billy untuk menhadirkan pentas yang tidak biasa. Ia berpendapat kemajuan teknologi membuat semua orang bisa mengakses informasi dengan mudah. Tak terkecuali lakon pewayangan. Billy mengambil inisiatif untuk lebih memperdalam karakter ketokohan dan mengubah alur dalam cerita.

Kehadiran setiap tokoh ditampilkan dengan karakter yang kuat, tidak hanya berfokus pada Abimanyu (Tri Ageng G). Dari mulai tokoh Raden Samba (Heru Purwanto), Raden Lesmana (Lesmana Mandrakumara), hingga Dewi Sembadra (Eny Sulistyowati) mempunyai penekanan karakter untuk menguatkan jalan cerita.

"Yang jelas kebaruan sanggit-nya, alurnya. Di sini ada pengembangan-pengembangan yang memang itu saya tonjolkan dalam karya ini. Jadi saya mencoba menafsir ulang lakon Cakraningrat dan menafsir ulang karakter tokoh-tokoh," tambah sutradara muda itu.

Mereka membuat Abimanyu selayaknya manusia biasa yang harus berjuang keras untuk membuatnya layak menjadi penerima wahyu cakraningrat. Ia berhadapan dengan dirinya sendiri. Ia harus menggalahkan kesombongan hati, godaan perempuan, dan egosentris.

Proses utak-atik memakan waktu yang lumayan lama untuk menghidupkan masing-masing karakter dan adengan. "Proses garapnya sebulan. Yang sulit itu proses idenya. Sampai setiap habis wayangan (pertunjukan wayang), kita langsung ngobrol," terang pengarah garap Agus Prasetyo.

Pentas itu memang terasa datar secara tampilan visual. Tidak ada banyak unsur artistik ataupun kebaruan gerak yang bisa mengundang decak kagum. Semua berjalan selayaknya pertunjukan wayang orang klasik yang bisa jadi membosankan bagi sebagian orang.

Di balik itu, pentas ini memang sengaja tidak memberikan tontonan yang menghibur secara visual. Lebih berfokus pada eksplorasi dan utak-atik alur cerita. Justru eksplorasi alur itulah yang membuat Sriwedari menunjukkan kelasnya sebagai kelompok seni yang sudah berhasil melewati satu abad. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya