Headline

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia

Mengenal Gabungan Metode Design Thinking dan Wilma, untuk Percepat Proses Boarding Pesawat

Rifaldi Putra Irianto
01/9/2025 12:38
Mengenal Gabungan Metode Design Thinking dan Wilma, untuk Percepat Proses Boarding Pesawat
Ilustrasi, aktivitas di bandara.(Dok. Freepik)

PROSES naik pesawat atau boarding sering kali menjadi salah satu momen paling menegangkan dalam perjalanan udara. Antrean panjang di gate, lorong kabin yang macet, serta penumpang yang kebingungan mencari tempat duduk membuat proses ini terasa lambat. Padahal, bagi maskapai penetbangan, setiap menit keterlambatan boarding berarti biaya tambahan dan potensi gangguan pada jadwal penerbangan berikutnya.

Menurut riset Airline Operations oleh Bazargan (2010), keterlambatan boarding termasuk faktor utama yang memperpanjang turnaround time atau waktu pesawat berada di darat. Semakin lama turnaround, semakin besar biaya operasional dan risiko keterlambatan berantai.

Di tingkat global, sejumlah maskapai sudah mulai meninggalkan sistem boarding berbasis nomor baris. Salah satu penggantinya adalah Wilma (Window–Middle–Aisle), yang memanggil penumpang kursi jendela terlebih dahulu, disusul kursi tengah, lalu kursi lorong. Penelitian Ferrari & Nagel (2005) dalam Journal of Air Transport Management menyebut, metode ini dapat mengurangi waktu boarding hingga 20 persen. Maskapai besar seperti United Airlines bahkan mengadopsinya.

Menurut Founder Innovesia, konsultan inovasi yang telah lama berkecimpung dalam penerapan design thinking di berbagai sektor di Indonesia, Fiter Bagus Cahyono. Wilma bisa menjadi jawaban akan panjangnya proses boarding di Indonesia. Namun menurutnya, Wilma tidak bisa langsung disalin mentah-mentah dari luar negeri.

"Kita punya kebiasaan khas. Banyak penumpang terburu-buru berdiri sebelum dipanggil, membawa bagasi kabin berlebih, atau memilih boarding bersama keluarga meskipun kursinya terpencar,” kata Fiter dalam keterangan pers yang diterima, Senin (1/9).

Kebiasaan itu, lanjutnya, membuat sistem boarding di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif. Bukan sekadar soal urutan kursi, tapi juga bagaimana komunikasi di gate lebih jelas, bagaimana aturan bagasi kabin ditegakkan, dan bagaimana kultur antre dibangun. Semua itu harus dipertimbangkan.

Di sinilah, menurut Fiter, design thinking berperan penting. Metode inovasi yang berpusat pada manusia ini, kata dia, sangat relevan untuk menguji dan menyesuaikan Wilma dalam konteks Indonesia. "Design thinking dimulai dengan empathize. Kita harus benar-benar memahami pengalaman penumpang Indonesia, bukan hanya membaca data. Apa frustrasi mereka? Apa yang membuat mereka merasa nyaman?” ujar Fiter.

Setelah itu, masuk ke tahap define untuk merumuskan masalah spesifik. Misalnya, bagaimana mengurangi kerumunan di gate, atau bagaimana mengatur agar keluarga bisa tetap boarding bersama tanpa mengganggu alur Wilma

“Di tahap ideate, kita bisa menggabungkan Wilma dengan solusi lain aplikasi boarding digital, signage visual berbasis warna, atau jalur khusus keluarga. Kemudian diuji coba dalam skala kecil, misalnya di rute Jakarta–Bali atau Jakarta–Lampung. Dari hasil uji itu, barulah kita evaluasi, iterasi, dan sempurnakan,” jelasnya.

Dengan kerangka ini, Wilma tidak hanya sekadar dipindahkan ke Indonesia, tetapi diadaptasi sesuai perilaku lokal. Sebagai konsultan inovasi, Innovesia lebih dari satu dekade mengembangkan program design thinking di Indonesia.  Innovesia dapat menjadi mitra untuk merancang dan menguji model boarding yang lebih efisien, khususnya implementasi WILMA di Indonesia.

“Kami terbiasa melakukan riset empati langsung di lapangan, lalu menerjemahkannya ke dalam prototipe yang bisa diuji. Jadi bukan hanya memberi laporan, tetapi mendampingi proses perubahan sampai bisa benar-benar diimplementasikan,” kata Fiter. "Kami bisa bantu dari riset perilaku penumpang, menyusun skenario boarding, mengadakan uji coba, sampai mengukur dampak finansial maupun kepuasan pelanggan," imbuhnya.

Berbagai studi menunjukkan bahwa metode boarding berbasis huruf kursi dapat memangkas waktu boarding hingga 20–30 persen. Bagi maskapai dengan frekuensi penerbangan tinggi, ini berarti Efisiensi biaya operasional, Peningkatan kepuasan pelanggan,Penguatan reputasi maskapai di pasar domestik maupun internasional. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya