Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
SEBUAH studi terbaru yang menggunakan teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR) mengungkapkan sejauh mana Guiengola, sebuah kota Zapotek abad ke-15 di Oaxaca selatan, Meksiko. Sebelumnya diyakini sebagai benteng militer, situs ini kini diidentifikasi sebagai kota berbenteng yang mencakup 360 hektare, terdiri dari lebih dari 1.100 struktur, dan dikelilingi tembok pertahanan, serta tata letak perkotaan yang besar.
Penelitian yang dipimpin arkeolog Pedro Guillermo Ramón Celis dari Universitas McGill ini menemukan Guiengola, atau “Batu Besar” dalam bahasa Zapotek, lebih dari sekadar pos militer: Situs ini memiliki kuil, lapangan bola, zona pemukiman yang berbeda untuk elit dan rakyat biasa, serta sistem jalan dan benteng yang kompleks.
“Karena kota ini hanya berusia antara 500 - 600 tahun, kota ini sangat terpelihara dengan baik. Anda bisa berjalan di sana di hutan dan menemukan rumah-rumah yang masih berdiri,” kata Ramón Celis dalam sebuah pernyataan. “Ini seperti sebuah kota yang beku dalam waktu, sebelum adanya transformasi budaya mendalam yang dibawa oleh kedatangan Spanyol.”
Guiengola memainkan peran penting dalam peperangan kekuasaan pada akhir abad ke-15. Sebuah peradaban pribumi pra-Kolumbus, bangsa Zapotek, yang muncul sekitar 700 SM, menghadapi tekanan yang semakin besar dari Kekaisaran Aztek.
Pertempuran besar terakhir antara bangsa Zapotek dan Aztek terjadi di Guiengola antara tahun 1497 - 1502 M, ketika Kaisar Aztek Ahuizotl melancarkan pengepungan panjang yang berlangsung tujuh bulan. Meskipun perlawanan sengit dari bangsa Zapotek, Guiengola akhirnya ditinggalkan, dan penduduknya pindah ke komunitas terdekat di Tehuantepec untuk mendapatkan akses yang lebih baik ke air dan lahan subur. Keturunan mereka masih tinggal di sana hingga hari ini.
Teknologi LiDAR, yang menggunakan pulsa laser untuk membuat peta topografi 3D yang detail, sangat berperan dalam mengungkapkan seluruh wilayah Guiengola. Sebelumnya, kanopi hutan yang lebat menutupi sebagian besar situs ini dan membuat survei arkeologi tradisional tidak mungkin dilakukan.
“Hingga sangat baru-baru ini, tidak ada cara bagi siapa pun untuk menemukan sejauh mana situs ini tanpa menghabiskan bertahun-tahun di lapangan berjalan dan mencari. Kami dapat melakukannya dalam dua jam dengan menggunakan peralatan penginderaan jauh dan pemindaian dari pesawat,” jelas Ramón Celis.
Studi ini juga memberikan wawasan tentang tata letak sosial dan politik Guiengola. Dengan mengidentifikasi pola spasial dalam distribusi struktur, para peneliti mulai membedakan area yang disiapkan untuk aktivitas elit dan keagamaan, termasuk kuil dan lapangan bola.
Fakta bangsa Zapotek mengorganisir kota yang begitu kompleks dan strategis menunjukkan tingkat kecanggihan politik dan otonomi yang tinggi, menantang anggapan sebelumnya mengenai hubungan mereka dengan Aztek dan, kemudian, penjajah Spanyol.
Karena memiliki hubungan pribadi dengan daerah tersebut, Ramón Celis berniat untuk terus menyelidiki Guiengola: “Keluarga ibu saya berasal dari wilayah Tehuantepec, yang terletak sekitar 20 km [12 mil] dari situs ini, dan saya ingat mereka membicarakannya ketika saya masih kecil,” jelas Ramón Celis.
“Itu salah satu alasan mengapa saya memilih untuk masuk ke bidang arkeologi,” tambahnya. Timnya siap untuk musim lapangan keempatnya, di mana mereka berencana untuk mendokumentasikan 1.170 struktur yang diidentifikasi oleh LiDAR. Proyek ini tidak akan melibatkan penggalian, tetapi lebih mengandalkan teknik penginderaan jauh lainnya. (Archaeology News/Z-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved